[CATATAN] Perkembangan Indonesia dalam Kompetisi Global
- 07.18
- By Amaliah Black
- 0 Comments
Oleh: Sri Amalia Kusuma Wardani
1.
Organisasi
Klasik dan Neo-Klasik
Seluruh aspek kehidupan
bermasyarakat sesungguhnya tidak terlepas dari kegiatan organisasi. Visi, kerja sama dan sekumpulan manusia
merupakan unsur-unsur yang membentuk sebuah wadah sosialisasi di mana hal-hal
tersebut sudah diterapkan dalam peradaban jutaan tahun silam, namun baru
dikenal dengan istilah organisasi
semenjak abad ke-19. Adapun pengertian organisasi menurut para ahli:
Ø Stoner mengatakan
organisasi ialah suatu pola hubungan melalui orang atau sekelompok orang di
bawah pengarahan manajer untuk mengejar tujuan bersama.
Ø Kochler berpendapat
bahwa organisasi merupakan sebuah sistem terstruktur yang mengkoordinasikan
usaha tertentu oleh suatu kelompok orang untuk mencapai tujuan.
Ø Richard Scott menjelaskan
bahwa organisasi adalah kolektivitas yang disengaja dan dibentuk untuk mencapai
suatu tujuan tertentu berdasarkan pada asas kelangsungan.
Ø Stephen P. Robbins memandang
organisasi sebagai suatu kesatuan sosial yang dikoordinasikan dengan
batasan-batasan yang relatif dapat diidentifikasi dan bekerja terus menerus
untuk mencapai tujuan bersama.
Ø James D. Mooney berpendapat
bahwa organisasi tidak lain ialah bentuk perserikatan orang untuk mencapai
tujuan yang telah disepakati.
Organisasi berangsur
mengalami evolusi seiring berjalannya waktu, hingga pada akhirnya disimpulkan
bahwa ada beberapa tahap dalam fase perkembangan teori organisasi, yakni
organisasi klasik, modern dan post-modern.
Awal mulanya, organisasi klasik berisi konsep-konsep dasar
tentang tugas yang terpusat, kekuasaan-kekuasaan, struktur-struktur, dan
pembagian wewenang secara jelas. Belum adanya elemen kreatifitas membuat
organisasi pada era ini bersifat kaku. Dalam teori ini, organisasi klasik
memiliki tiga aliran, yaitu teori
birokrasi oleh Max Weber, teori
administrasi oleh Henri Fayol, dan manajemen
ilmiah yang dikembangkan oleh Frederick Taylor. Organisasi pada fase ini
sepenuhnya hanya menjabarkan unsur-unsur yang tersusun dalam organisasi secara
formal, yang kemudian menjadi karakteristik organisasi klasik. Berikut adalah
poin-poin penting akan komponen pembentuk organisasi klasik;
·
Sistem kegiatan yang terkoordinasi
·
Kerja sama yang dilakukan sekelompok
orang
·
Kekuasaan
·
Struktur dan pembagian wewenang
·
Sentralisasi (memusat)
Jadi, organisasi klasik
cenderung berdasarkan pada kerja sama yang bersifat struktural dan hierarki
(bertingkat) demi menjaga hubungan tersebut untuk tetap stabil yang justru
menimbulkan kesan bahwa organisasi hanya mampu menghasilkan sebuah stagnansi (jalan
di tempat), atau yang kerap dikatakan orang-orang awam sebagai ‘kemandekan’.
Akibat kelemahan inilah teori neo-klasik
akhirnya dicetuskan. Dalam tahap ini, pembaharuan terhadap konsep-konsep
yang ada dilakukan dengan cara menganalisis perilaku-perilaku manusia yang
terlibat dalam sebuah organisasi. Sehingga, organisasi tidak semata-mata hanya dipandang
melalui sisi mesin saja, tetapi juga dalam sudut pandang kemanusiaan. Teori ini
menekankan pada ‘pentingnya aspek psikologis dan sosial karyawan sebagai individu
ataupun kelompok kerja’. Dan berdasarkan pendekatan-pendekatan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa norma sosial merupakan kunci penentu perilaku kerja
seseorang.
Akan
tetapi, teori neo-klasik tidak terlalu memiliki pengaruh yang signifikan dalam
perkembangan organisasi. Atas ketidakpuasan inilah, kedua teori tersebut dikritisi
oleh teori modern yang melihat bahwa
organisasi bukanlah suatu sistem tertutup yang hanya berkaitan dengan
stabilitas lingkungan
2.
Kemunculan
Teori Modern dan Post-Modern
Para pemerhati
teori modern lebih menitikberatkan pada sifat-sifat politis sebuah organisasi.
Apabila teori organisasi klasik menekankan perspektifnya pada analisa dan
deskripsi organisasi, maka pada fase ini, organisasi dianggap sebagai hasil
sintesa (perpaduan) dan desain (perancangan) yang menjadikan pemenuhan suatu
kebutuhan menyeluruh, sehingga organisasi dapat bergerak dinamis dan memiliki
daya menyesuaikan diri dengan lingkungan baik secara internal maupun eksternal.
Kreatifitas mulai dikembangkan dalam tahap ini. Adanya perbaikan atas teori
organisasi klasik yang dilakukan pendukung-pendukung teori modern ini
menjadikan organisasi mulai dipandang sebagai wadah yang memainkan peran
penting dalam proses perubahan lingkungan. Jadi, dalam fase ini, organisasi
bukan semata-mata bicara soal struktur, pembagian kekuasaan, maupun
elemen-elemen yang bersifat rigid, namun juga melakukan pendekatan-pendekatan
perilaku di mana organisasi dituntut untuk dapat mengenali potensi seorang
anggota baik secara individualistik dan peoplistic
(kelompok sosial) dalam rangka melakukan perubahan sistem dan lingkungan.
Lalu,
teori modern tersebut disempurnakan oleh beberapa tokoh visioner melalui teori post-modern. Mereka menganggap bahwa sebuah organisasi mampu menciptakan
gelombang perubahan yang besar dan pesat. Apabila pada teori organisasi klasik
maupun teori modern yang dibicarakan hanya persoalan sistem, kinerja, proses
dan tujuan-tujuan bersama, maka pada fase post-modern, organisasi bukanlah
sekadar alat, melainkan juga sebagai sebuah pencerminan nilai-nilai dan
kepribadian dari sebuah bisnis, sebuah usaha nirlaba, sebuah badan pemerintah
yang sekaligus ditentukan oleh hasil-hasil usaha itu sendiri. Pergeseran
paradigma ini menjadikan organisasi terwadahi secara longgar, memiliki
likuiditas (cair), dan tidak statis. Post-modern juga mengajarkan bahwa
kepemimpinan yang dilakukan semestinya berbentuk pelayanan—bukan penguasa yang
hipokrit, di mana pemimpin pada tahap ini harus mampu menyesuaikan diri dengan
bawahan, mendukung kelompok perempuan dan minoritas, berpusat pada
anggota-anggota yang terhimpun, dan memiliki pemikiran jangka panjang.
Post-modern sesungguhnya merupakan
konsep yang memadu-padankan isi dari ketiga teori sebelumnya, lalu dikembangkan
dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Pada tahap ini, organisasi sepenuhnya
menerapkan konsep-konsep modernisasi seperti sistem kontrol yang tidak lagi
didasari pada ‘rasa takut’ melainkan pada kesadaran masing-masing. Cara pemikiran
di era post-modern ini ialah pluralitas. Namun sejauh ini, teori post-modern
masih menimbulkan perdebatan dari berbagai kalangan praktisi.
3.
Indonesia
dalam Perspektif Organisasi