BINGKAI KONSTELASI
(Oleh: Amaliah Black)
Google image |
Tetes-tetes
hujan yang tersisa di pucuk-pucuk daun jatuh ke bawah. Bunyi keletak-keletik
terdengar bila butir air itu menimpa bebatuan yang menumpuk di bawah
pohon-pohon tinggi. Seekor alap-alap melayang membelah langit yang perlahan
meremang, lalu hinggap tenang pada sebuah dahan rendah. Sepasang matanya yang
awas menatap jauh ke tepi jalan, menyadari kehadiran orang asing yang tengah
mengendap di balik semak-semak bambu.
Senandung
keroncong sayup-sayup mengalun di udara, menyambut rona malam yang masih muda.
Ada sekitar dua belas manusia yang terserak di bangku-bangku bundar dengan
segelas bir di tangan. Alih-alih menikmati lagu yang diputar, mereka justru
bercakap sendiri, riuh rendah dan tawa sesekali pecah memenuhi meja-meja yang
disesaki piring-piring kotor.
Jangkrik,
gangsir dan walang kerik mulai berkoar, tidak mau kalah dengan kebisingan yang
bersumber dari dalam kedai dekat mulut gang itu. Angin selatan bertiup. Lembap.
Spanduk dan umbul-umbul yang menancap di sepanjang jalan turut berayun dengan
ritme tak tentu, mengibas-ngibaskan sepetak foto wajah yang dicetak jelas pada
permukaan kainnya.
Seseorang
berulang kali menguap, nyaris tertidur usai berjam-jam dirinya menanti. Cepat-cepat
ia melek kembali, menegapkan punggung dengan laras panjang di pelukan. Pemuda
itu menggeleng-gelengkan kepala lalu bergidik, tampak sedang mengusir gigil
yang merambati tubuh jangkungnya. Lagi-lagi sepasang matanya mengintip di sela
batang buluh yang menyelubungi, berusaha menekan helaan napas yang bisa jadi
terdengar berisik kala itu.
Sesosok
pria botak samar-samar terlihat menyeret langkah keluar kedai, tersenyum
sumringah sampai-sampai dirinya tampak persis dengan wajah yang terpajang dalam
spanduk yang berderet hingga ke tengah kota.
Bingo!
Gerak
kakinya sontak tertahan. Sebuah bunyi letusan terdengar mencampuri suara biduan
keroncong yang mendayu, menciptakan keheningan yang memberangus. Seperti ada
yang menambat waktu, segalanya seakan membeku beberapa jenak. Dan lengkingan
derik binatang malam dengan sukarela memprakarsai kegaduhan di tempat itu.
Orang-orang kemudian berteriak, berlarian ke sembarang arah bagai kumpulan
lebah yang habis dipukul sarangnya. Tak ada yang mampu menahan pria botak itu
untuk roboh ke tanah, tidak pula dirinya sendiri. Bolong di jidat seakan menyedot
segenap ruhnya tanpa bekas. Dan sealiran darah dari sana perlahan menyelinap
serta.
Dedaunan
bambu di seberang kedai langsung berkerisik manakala pemuda yang bersembunyi di
baliknya bergerak bangkit. Senyum asimetris membayang di bibirnya yang
menghitam bersamaan dengan luruhnya setumpuk beban di dalam dada.
Sesuai
praduga. Dialah sang jagoan.
-oOo-
“Sup
kaki kambing ini memang cocok untuk merayakan kemenangan kita,” Royan berseru
sebelum akhirnya menyendok kuah bening dengan bulir-bulir minyak di antaranya,
“ayahku pasti bangga mendengar keberhasilanmu.”
Elang
tidak berkomentar. Ia hanya menatap Royan dalam bisu, begitu lekat. Namun
sebaliknya, Royan justru tengah menunggu tanggapan dari sang teman. Yang
dinantikannya adalah ledakan kegembiraan yang serupa.
“Hei,”
Royan lalu meneguk tuntas hirupan keduanya, “kenapa diam?”
Kepala
Elang menggeleng samar, lantas merunduk sedikit untuk menyesap sumsum kaki
kambing di mangkuknya. Ia setuju, sajian tengah malam begini membuat
adrenalinnya mengendur. Setelah hampir lima jam diliputi perasaan tegang, Elang
mampu merasakan ototnya kembali rileks. Ia pun mengerti, sumsum yang disedot
dari mulutnya itu terlalu cepat lenyap untuk disadari. Tiba-tiba saja tulang
yang digenggam terasa kopong, tanpa isi. Begitu pula situasi yang berlangsung
beberapa jam ke belakang. Elang menghabisi nyawa seorang paruh baya tanpa ada
yang tersisa. Tak ada jejak hingga menurutnya sulit menuduh siapa-siapa.
“Sebentar
lagi Ayah akan naik jabatan,” Royan kembali berceloteh usai menandaskan sup
kaki kambing kegemarannya. “Kemungkinan kau juga akan diangkat, jadi kau tidak
perlu hidup melarat seperti kemarin-kemarin,” selorohnya lantas terpingkal
geli.
Rumah
makan itu semakin lengang, hanya ada gema tawa Royan yang memantul-mantul di
setiap permukaan dinding dan lantai marmer. Elang sontak merasa gusar mendengar
gelak itu. Bola matanya kembali bergerak ke arah mangkuk yang masih terisi
setengah, mendapati pantulan wajah yang sengit. Dalam benak, Elang membayangkan
betapa repotnya para petugas mengatasi kerusuhan yang membabi-buta menyerang
kedai di gang sebelah. Betapa peliknya mengusut kematian seorang yang sedang
tenar-tenarnya di tengah masa kampanye.
“Bukan
hal mudah untuk berkomplotan dengan pihak-pihak yang sebetulnya saling
berseberangan. Itu semacam siksaan batin,”
Royan berujar dengan mimik wajahnya yang berubah serius.
Tidak
ada sahutan dari Elang, dan Royan pun melanjutkan, “Jalan satu-satunya adalah main
sikut. Kekerasan tanpa tedeng aling-aling jelas terlalu kontroversial, Lang. Makanya...,
kita butuh strategi dalam menyingkirkan lawan. Seperti yang kau lakukan itu,
misalnya.”
Elang
menghela pendek. Disparitas, inkonsistensi dan konfrontasi memang bukan barang
baru lagi baginya. Sudah hampir belasan tahun ia menyelami sekian kebusukan
yang menginfeksi para birokrat keparat itu, sejak dirinya dinyatakan keluar
dari bangku kuliah dan memutuskan untuk menjadi kuli tinta sekaligus pembunuh
bayaran. Bukan masalah besar, toh inilah dunia. Kejam dan tidak berperasaan.
“Tapi,
aku salut padamu,” senyum licik perlahan membayang di wajah Royan. “Sebelas
tahun dan sampai sekarang identitasmu sebagai dedengkot skandal-skandal itu
belum juga terbongkar.”
Elang
merasa seolah-olah seseorang telah menyiramkan kuah sup panas ke wajahnya. Ia
betul-betul terusik dengan pernyataan itu sekaligus maksud yang tersirat di
dalamnya. “Baiklah,” usai sekian lama membungkam, Elang bersuara juga,
“aku rasa pertemuan ini sudah selesai.”
Royan
merasakan dua mata pedang es kristal menancap kuat di tubuhnya manakala Elang
melempari tatapan mencorong itu. “Oh!” kontan Royan berseru demi mendistraksi
perasaannya, kemudian berkata, “Aku tahu apa yang membuatmu jadi pendiam
begini.”
-oOo-
Kucuran
air dari keran wastafel segera menyerbu kedua belah tangan Elang. Sekilas
pemuda itu memandangi gurat-gurat wajahnya di cermin, lantas berbalik menghadap
Royan yang sibuk menyalakan selinting tembakau di mulut.
“Kau
benar-benar profesional, ya,” ujar Royan setelah mengembuskan asap rokok dari
rongga bibirnya. “Aku ini temanmu, tapi kau tetap saja memungut bayaran.”
“Tidak
ada istilah pandang bulu dalam urusan profesi,” Elang menyahuti. “Duit tetap
duit, terhadap kerabat sekalipun.”
Royan
mengekeh sembari mengeluarkan segepok uang yang terbungkus amplop cokelat. “Itu
sebabnya aku kagum pada prinsipmu ini,” pujinya sambil mengekeh. Namun, belum sempat Royan
menyerahkan hadiahnya kepada Elang, ponsel dalam saku kemejanya terburu
menjerit nyaring. Sebuah nomor tak dikenal sedang mencoba menghubunginya, dan
ia langsung mengawasi Elang penuh curiga. “Sebentar,” sinar matanya kini
menajam, “kau tidak mengatakan hal ini kepada siapapun, kan?”
“Nanti,
kalau aku berniat untuk bunuh diri..., baru akan kusebarkan ke seluruh dunia,” Elang
menjawab seringan mungkin.
Tetapi,
Royan merasa kepercayaan atas dirinya dan Elang berangsur meluntur. Ponsel di
genggamannya masih bergetar, meraung-raung untuk segera disambut. Lagi, matanya
mengamati air muka Elang yang tak kunjung berubah. “Halo?” dengan ponsel
tertempel di kuping, Royan berkata setengah menggigil.
Suara
gemerincing rencengan amunisi sontak terdengar begitu Elang mulai mengaduk-aduk
kantong celananya. Namun, bukan peluru yang ia raup dari sana, melainkan
sehelai kertas berisikan slogan provokatif dengan sepetak foto seorang pria
berkepala plontos. “Yang aku tahu,” Elang berkata dengan suara beratnya yang
rendah, “bedebah ini sudah mampus.”
Sepasang
mata Royan kontan membeliak. Jauh lebih nyalang. Rautnya pias, dan
sekonyong-konyong ponsel seharga sebelas
juta itu luruh ke bawah, menghantam lantai toilet. “A—apa-apaan?!” mulutnya
tergagap begitu disaksikannya foto dalam kertas itu dirobek hingga menjadi
potongan yang terbelah dua. Jantungnya seketika mencelos sesaat dikenalinya
sosok dalam foto itu. Ia terhuyung.
Ayahnya…
Elang
menyeringai. Antara puas dan juga murka. Riak di wajah Royan menumbuhkan
hasratnya untuk mencumbui pria itu dengan pistol kesayangannya.
“Berengsek!” umpat Royan
dengan rahang mengeras, namun suaranya semakin bergetar. Kepalanya seperti
berpusar-pusar, berusaha meneguhkan kesadaran. “Sengaja aku membayarmu untuk
menghabisi politikus bermuka dua itu, bukan justru membunuh ayahku sendiri!”
Napasnya tersengal.
“Memang,”
dengan segenap kecongkakannya, Elang segera menyahut. “Sesuai dengan segala
macam omong kosongmu, nyawa politikus bajingan itu sudah melayang.”
“Tapi,
yang kumaksud bukan ayahku!”
“Lalu,
kau ingin aku membiarkan sampah seperti ayahmu itu tetap berkeliaran di negeri
ini? Ha?” Elang menukas tak
kalah bengis.
“Tidak
peduli siapapun itu, yang jelas tugasmu adalah menuruti perintah orang-orang
yang sudah membayarmu!” Royan berkelit, “Lagi pula—apa yang
sebetulnya kau inginkan?
Uang?!” nada suaranya meninggi, dan otot-otot di pipinya semakin menegang.
“Berapa? Satu miliar? Sepuluh triliun? Katakan! Tapi bukan begini caranya, Berengsek!”
“Ternyata
kau masih begitu naif, Royan,” Elang mendesis sarkastik. “Sudah kukatakan,
inkonsistensi adalah cara hidup. Dan kau,” ia tertawa, “dan kau dengan tololnya
malah datang kepadaku, menganggap bahwa aku ini si rakyat jelata yang
semata-mata hanya butuh duit.”
Royan
memekik, “Intrik macam apa ini?!”
“Ini
bukan intrik,” Elang tersenyum miring, “ini strategi, Sayang.” Kakinya beringsut
mendekati Royan yang mengkeret ketakutan. “Sebaiknya, kau harus lebih banyak
belajar tentang ironi politik semacam ini...”
Royan
kontan berang. Wajahnya yang semula pucat pasi kini beralih merah padam.
“Bajingan tengik!” balasnya, lantas menggeleng, “Aku pikir kau ini temanku...”
“Teman
adalah orang yang belum menjadi musuhmu,” Elang menyela penuh kemenangan.
“Karena adanya kepentingan..., kau membutuhkan teman. Oh ayolah, Royan. Usiamu
sudah nyaris tiga puluh tahun, tetapi pikiranmu tak lebih pintar dari anak kelas enam SD.”
Mulut
Royan berkedut, dirasakannya segenap kata-kata telah berada di ujung lidah.
Sekuat mungkin ia berusaha bicara, tetapi pada akhirnya yang keluar hanyalah
erangan frustasi. “Keparat!” Bayangan jasad ayahnya yang sudah ambruk di depan
kedai mulai berkelebatan dalam otaknya.
Pertunjukan
hampir habis. Elang mendapati arlojinya menunjukkan pukul tiga dini hari. Cukup siang bagi seorang
pembunuh berantai yang tengah menjalankan aksinya. “Maafkan aku, Teman. Kau dulu memanglah ular penuh bisa,
tetapi kali ini ceritanya lain,” Elang berkata dengan sepucuk pistol kaliber medium
tertuding tepat ke kening Royan yang dipenuhi bulir-bulir peluh. “Ular yang
dahulu adalah predator paling
berbahaya—kini hanyalah seonggok bangkai.”
Jempolnya sudah siap menarik pelatuk, “Padahal kau tahu, kan? Elang tidak
pernah membantu ular yang sekarat.”
Geram
bercampur dendam tiba-tiba mengaliri Elang. Ia rasakan amarah di dadanya tak
tertahankan lagi. Hingga meluncurlah peluru-peluru itu tanpa sempat
dikendalikan, menembus kejalangan bertubi-tubi. Lalu remuk. Berantakan. Wajah
durjana milik Royan kini menyisakan keping-keping tengkorak yang berserak.
Elang
mengosongkan parunya dengan desah panjang. Ada bongkahan raksasa sontak
menghimpit tenggorokannya, dan bernapas pun serasa amat menyulitkan. Untuk yang
terakhir kali, ia melirik tubuh yang telah limbung itu, mencoba meninggalkan
berlusin-lusin dosa di antara serpihan-serpihan di sana. Kemudian, kedua
kakinya memutuskan untuk lekas bergegas, kembali menyambung hidup dengan jejak
kriminal yang entah sampai kapan akan menemui ujungnya.
“Padahal kau sadar... bahwa berkomplotan dengan seseorang yang berseberangan memang
tidaklah mudah,” bibir Elang berbisik, sebelum akhirnya ia menghilang dari
balik pintu. [ ]
0 komentar