To: My Dearest, Stiletto Book.
Biasanya sehabis pulang sekolah, rasa penat selalu bergelayut
di pundakku seperti beban yang tak lekas pergi. Tetapi, sore itu rasanya cukup
berbeda.
Mendadak aku jadi cemas, tidak bisa berpikir apa-apa lagi.
Hingga saat itu aku betul-betul melupakan kelelahan yang masih merambati kedua
kakiku yang pendek.
Kautahu apa yang kulakukan di sore itu, Stilo?
Mengurung diri di kamar dengan wajah mematut di hadapan
layar komputer yang menyala redup. Mengingatkanku pada kebiasaan Athaya dalam novel Geek in High Heels!
Dan baru kusadari, ternyata koneksi internet di rumahku mendadak payah. Berkali-kali kuhentakkan jari telunjukku dengan keras pada keyboard komputer. Ya, aku memang bukan tipe
manusia korelis yang penyabar.
Sekitar lima belas menit aku berjuang dengan segala bentuk
pengorbanan, dan laman yang sedari tadi terus menerus kumuat ulang akhirnya terbuka
juga.
Ada sepetak kecil berwarna merah terlihat menyudut di layar
komputerku. Sebuah surat elektronik yang belum kubaca. Dengan degup jantung
yang mulai berdebam, aku segera menggerakan kursor pada pemberitahuan itu.
Wajahku sontak berubah sumringah dengan sepasang bola mata
berbinar.
Ada balasan surat
darimu, Stilo!
Cepat-cepat aku membacanya. Balasan atas naskah yang
sempat kukirim sekitar satu bulan silam. Segera kutekan tautan unduh yang
terlampir dalam suratmu—dan jantungku memompa semakin cepat, seolah-olah aku tengah membaca bab klimaks pada novel Apartemen 666 yang kamu terbitkan.
Satu berkas dengan format .docx selesai kuunduh. Dengan aneka perasaan campuraduk yang perlahan mengendalikan diriku, kubuka surat darimu itu. Dan ternyata isinya;
Satu bab naskah novel yang kubuat semenjak satu tahun silam ternyata tidak berhasil menarik perhatianmu, Stilo. Mendadak, binar di mataku pias. Aku seperti orang patah hati. Tapi, waktu itu rasanya jauh lebih membuatku sedih ketimbang saat ditolak oleh cinta pertamaku. Sungguh. Mimpi-mimpiku tentang naskahku dan dirimu seolah-olah memudar dalam bayanganku. Melambai menjauh disertai tiupan badai di hatiku.
Mungkin, aku terlalu banyak berharap. Mungkin, aku terlalu menggebu-gebu untuk bisa berjodoh denganmu, Stilo. Seperti doamu saat naskahku sampai di hadapanmu; Semoga naskahmu berjodoh.
Tetapi, Tuhan punya pikiran lain. Aku gagal mencuri hatimu, Stilo.
Semenjak itu, tidak ada hal luar biasa yang mengisi hari-hariku. Tiba-tiba aku enggan menulis. Beginikah efek patah hati itu, Stilo? Atau hatiku saja yang belum cukup tegar untuk menerima semuanya?
Semua terasa getir dan serba membosankan. Nyaris mirip kehidupan Renata dalam novel terbitanmu.
Yap. Aku juga bingung apakah ini sebenarnya surat untukmu atau dongeng patah hati yang kutulis untukmu. Perasaan ini sulit dimengerti oleh diriku sendiri. Kendati begitu, kuharap rasa 'sakit' ini akan lekas sembuh ya, Stilo. Doakan saja. Sebab, aku tidak ingin terus menerus tenggelam dalam kesedihan. Dan kuharap, dengan membaca suratku ini, kau mau mengobatiku, my dearest :')
Cukup di sini dulu aku mencurahkan segala perasaanku padamu. Aku tahu aku belum begitu baik untukmu, tapi aku yakin, suatu saat kita pasti berjodoh. Aamiin.
Sincerely, Your Lover
Amaliah Black
-oOo-
P.s: Tulisan ini sedang diikutsertakan ke dalam event menulis: Surat untuk Penerbit Stiletto Book.
0 komentar