pixels.com |
“I don’t wanna be sad anymore,” aku bisa merasakan napasku yang bergetar ketika membisikkan itu, dan dia mendekapku semakin erat, seakan berusaha merekatkan kembali kepingan-kepingan diriku yang sudah remuk berantakan.
Sampai kapan pun, aku tak akan
pernah tahu bagaimana caranya merespons—bagaimana caranya menanggapi fakta
bahwa ada seseorang yang menginginkanku; ada seseorang yang membutuhkanku,
sebab aku akan menangis sejadi-jadinya. Kesedihan yang mengendap dalam diriku
seakan sudah melampaui kapasitas dan kadangkala meledak begitu saja tanpa
peringatan.
Aku benci mengatakan ini, tetapi
aku harus terima kenyataan kalau aku memang tumbuh dan besar dalam penolakan. Aku bertahan dalam
keterasingan, seorang diri, dan orang-orang terus menganggapku sebagai sosok
aneh yang tak biasa. Ada energi ganjil yang menguar sebagaimana aku bicara atau
sekadar berjalan melintasi mereka. Aku kerap berpikir, barangkali aku memang sudah
salah terlahir dan hidup di dimensi ini. Tuhan mungkin sedang mabuk, atau ada
sistem yang kebetulan sedang rusak ketika aku diciptakan.
Sekeras apa pun aku berusaha
terlihat sama, orang-orang tetap menatapku dengan janggal.
Tetapi yang aku tahu,
satu-satunya orang yang mencintaiku tanpa batas hanyalah Ibu. Aku tidak terlalu
ingat, namun aku sadar telah menghabiskan sembilan bulan lebih bersembunyi di
balik selaputnya—saling berbagi makanan, keresahan, dan penderitaan. Hidup di
badan yang sama, jelas membuat aku dan Ibu terkoneksi lebih dari siapa pun.
Namun kenyataannya, kasih sayang
Ibu tak lantas membuatku lancar dalam menafsirkan cinta. Aku kerap gagap. Aku
sulit percaya jika orang-orang betul menaruh perhatian—yang kukira sekadar
basa-basi antarmanusia. Terbiasa mengalami penolakan membuatku sedikitnya
berpikir, barangkali aku lebih baik mencintai diri sendiri; barangkali aku
memang tidak pantas hidup seperti orang lain; barangkali selamanya aku akan
jadi orang aneh yang sulit bahagia, dan banyak sekali barangkali-barangkali
yang akhirnya menyeretku ke dalam koridor gelap.
Sebab, tiap kali aku mengalami
kebahagiaan, semua terasa seperti mimpi. Berlalu begitu saja tanpa sempat
kugenggam. Kemudian aku akan kembali terperosok ke koridor yang sama di mana
yang kutemukan hanyalah kosong dan ketiadaan.
Semua itu menuntunku untuk terjaga setiap jam tiga
pagi, menyingkap kabut yang menyelubungi amigdala dan menggapai kenangan-kenangan
yang mungkin bisa kuhargai, dan tentu aku akan menangis diam-diam, entah sedih,
entah bahagia—aku sulit membedakannya.
Dan menemukan seseorang lain yang
mencintaiku bukan perkara mudah. Aku tidak bisa langsung percaya dan menelan
bulat-bulat ucapannya. Tidak segampang mencerna bubur nasi atau telur ikan. Ada
derum menyakitkan yang lambat-lambat bergema di belakang kepalaku. Seperti
denting metronome yang tiada habisnya. Aku tidak terbiasa, dan entah sampai
kapan aku akan terbiasa dengan kondisi ini.
Cinta adalah materi berbahaya, setidaknya
begitu bagiku. Aku pemberani tapi juga pengecut. Aku terbiasa menahan sakit
sendirian tetapi tak kuat manakala seseorang datang dan berkata akan membantuku
menanggung semuanya.
Apa itu omong kosong?
Namun, dia terus mendekapku. Tanpa
bicara. Hanya embusan napas yang menyapu telinga. Aku tak mengerti kenapa aku
membiarkan ini terjadi. Pukul tiga pagi seperti membangunkan jiwaku yang lain.
Jiwa yang tak pernah kuperlihatkan pada siapa pun sebelumnya. Cuma aku yang
mengetahuinya, betapa derik tonggaret dan gemersik gugusan pinang yang saling
bergesekan ditiup angin menjadi musik latar belakang.
“Kamu terlalu mencintai kesedihan
itu,” demikianlah yang diutarakannya usai mendekapku, menatap begitu dalam sampai-sampai
aku bisa merasakan tubuhku memaku beberapa jenak. “Kamu diberkahi banyak
kebahagiaan, but instead, kamu memilih
merangkul kesedihan itu.”
Dia betul. Lelaki itu selalu
betul.
Aku memang gemar meletakkan kesedihan
itu di balik punggung, membawanya turut serta ke mana pun aku pergi, seakan
telah mengakar kuat dan merasuk ke bagian paling dasar. Karena rasanya sulit
sekali melepaskan itu—aku sudah terbiasa diliputi kesedihan, dan butuh proses
panjang untuk menggantikannya dengan kebahagiaan permanen.
Bahkan ketika memikirkan itu saja,
dadaku seakan terbakar. Sesungguhnya aku hanya ingin lepas dari keterikatan apa
pun, pada siapa pun—telah kukatakan pada lelaki itu. Aku tidak terlalu paham
jenis hidup apa yang kupilih, tapi aku cuma ingin bebas. Mengenang yang
sudah-sudah; bernapas seperti tawanan orang lain membuatku semakin menderita.
Aku tahu ini sinting. Ketika
orang-orang menjadi bersemangat karena cinta, atau bahagia karena cinta, aku
merasakan sebaliknya. Sebab cinta yang orang-orang berikan padaku rasanya tak
pernah sama sebagaimana aku memberikan cinta pada diriku sendiri.
Bagaimana bisa seseorang dengan
percaya dirinya mengklaim jatuh cinta padaku untuk kemudian memperlakukanku
seperti tahanan?
Tidak masuk akal.
Lalu aku mendengus, dan dia
menggeser tubuhnya menjauh, menyisakan aroma musky yang menempel di wajahku.
“Apa kita akan menikah?”
Aku menggeleng. Aku tidak yakin
meski aku tahu, ini adalah kebahagiaan yang semestinya dirayakan, tetapi aku
sama sekali tak siap. “Untuk saat ini, jangan mendesakku.”
Dia tersenyum. Itukah wujud cinta?
Tetapi matanya bersinar sedih. Mungkin aku telah menjadi sumber penderitaannya.
Sebab aku memang tidak terbiasa
hidup sebagaimana yang dijalani orang-orang kebanyakan. Cinta, pernikahan,
kasih sayang—semua punya definisi lain di dalam bayanganku, di mana kesemuanya
tentu akan berakhir menyakitkan.
Seperti pertemuan, selalu ada
perpisahan.
Aku tahu, kita tidak seharusnya
bertemu lagi. [ ]