Saya ingat, Ibu pernah bercerita
tentang pengalaman pertamanya naik kereta api kelas ekonomi dengan mengambil
jurusan Stasiun Senen – Bandung. Itu terjadi hampir tiga puluh tahun lalu. Tiap
kali menyimak cerita-cerita tersebut, yang melintas di benak saya adalah
gerbong-gerbong yang sesak padat dipenuhi penumpang gelap, pedagang asongan,
sayur-sayuran dan hewan-hewan yang turut serta dibawa penumpang. Kesemuanya
bercampur, membaur dalam satu ruangan sempit yang memanjang, dan untuk keluar
dari sana butuh perjuangan ekstra agar tubuh tidak terseret-seret saat
melangkah menuju peron. Pendek kata, kereta api—khususnya kelas
ekonomi—merupakan bilik penyiksaan bagi para pelaju yang tidak punya banyak
uang.
Lalu, pada beberapa bulan lalu, saya
mendapat kesempatan untuk berlibur sendirian ke Lampung. Sebetulnya ada banyak
pilihan kendaraan yang bisa saya gunakan selain kereta api seperti pesawat, bus
atau mobil travel. Ketiga pilihan tersebut sudah jelas menawarkan
fasilitas cukup lengkap agar kenyamanan selama perjalanan tetap
terjaga. Namun demikian, kereta api yang sebelumnya menjadi momok
mengerikan bagi saya—mengingat Ibu juga sempat bercerita kalau dia pernah
hampir kecopetan di kereta api pada suatu perjalanan—seketika menjadi pilihan
utama saya. Awalnya skeptis saat memesan bangku nomor 22E kelas ekonomi dengan
harga 32 ribu rupiah. Pikiran-pikiran buruk tentang citra kereta api terus
membayang di kepala saya.
Bagaimana kalau ada pencopet?
Bagaimana kalau saya harus sebelahan
dengan bapak-bapak tua yang membawa kambing?
Bagaimana kalau—
Spontan pikiran-pikiran tersebut buyar
manakala saya mulai memasuki Stasiun Kertapati Palembang, mencetak boarding
pass, menjejakkan kaki ke dalam peron untuk kemudian menyusuri
gerbong-gerbong, lalu digiring dengan ramah oleh petugas di sana menuju bangku.
Tidak ada pencopet. Tidak ada
bapak-bapak tua yang bawa kambing.
Hanya ada sederet bangku yang saling
berhadapan, yang sudah diisi tiga-empat orang, serta ruangan memanjang yang
pendinginnya luar biasa.
Saya tidak menyangka jika ‘wajah’
kereta api sekarang sudah sangat berbeda. Pelayanan yang baik, toilet yang
(sangat) bersih, sekaligus penjagaan yang ketat seakan menjadi privilese
tersendiri. Bayangkan, gerbong sekelas ekonomi saja bisa menawarkan kemewahan
dan pengalaman tak terlupakan selama menempuh sembilan jam perjalanan menuju
Stasiun Tanjung Karang.
Terkhusus, sistem online
ticketing yang mulai dikembangkan sungguh mempermudah siapa aja untuk
mengakses kereta api tanpa harus mengerahkan banyak waktu dan tenaga. Tanpa harus berdesak-desakan mengalahkan penumpang satu dengan penumpang lainnya agar
mendapat barisan antre paling cepat.
Seketika, saya merasa jahat karena
sempat berpikir yang tidak-tidak karena kekhawatiran saya tentang naik kereta
api selama ini sungguh tidak beralasan.
Saya bisa duduk dengan nyaman.
Bercengkerama dengan penumpang di sebelah dan ibu-ibu yang selonjoran santai di
bangku depan, berhadapan langsung dengan saya.
Suasana hangat tipikal orang-orang
Indonesia. Ada banyak percakapan dan kesan yang tak bisa dihapus begitu saja
bahkan setelah saya tiba di Tanjung Karang, setelah resmi memisahkan diri
dengan orang-orang di sana.
Sungguh di luar perkiraan, revitalisasi
terhadap kereta api nyaris serupa revolusi spektakuler yang seharusnya memang
sudah diperhitungkan sejak awal. Hari ini, Kereta Api Indonesia bukan hanya
memberikan layanan distribusi dan jasa angkut bebas macet, tetapi juga
privilese yang bisa dirasakan seluruh kalangan masyarakat berupa ongkos murah,
efisiensi dan fasilitas yang menyenangkan.
Melihat perkembangan drastis dan
progresif seperti ini, saya optimis, Kereta Api Indonesia mampu mewujudkan
pembangunan rute Trans-Sumatera di mana lintasan-lintasannya menghubungkan Aceh
sampai Lampung, sehingga pecandu perjalanan—khususnya di Pulau Sumatera—tidak
perlu repot memikirkan akses dan masalah transportasi saat bepergian.
Demikianlah. Tulisan ini sengaja saya
buat sebagai bentuk permintaan maaf saya kepada Kereta Api Indonesia, karena
saya sempat meremehkan cenderung suuzon sebelum merasakan
langsung bagaimana serunya jalan-jalan dengan kereta api.
Dan sekarang saya mengerti, kenapa
banyak sekali adegan-adegan romantis di televisi yang melibatkan stasiun dan
gerbong kereta api. Sebab begitulah adanya. Bahkan sejak pengalaman pertama,
saya sudah jatuh cinta duluan. Doa saya untuk Kereta Api Indonesia, semoga
semakin produktif dalam melakukan pembaharuan dan perkembangan ke arah yang
lebih baik.
Selamat Ulang Tahun ke-74 Kereta Api
Indonesia! [ ]