[CERPEN] JAM DUA PAGI

Hasil gambar untuk sleep abstract painting
Zatista

Could there be eyes like yours ~

Bebunyian yang membentuk lagu You Stepped Out of Dream menyusup halus menembus dinding kamar, berpadu dengan suara ketikan ekstra cepat di papan ketik komputer portabel. Lelaki itu belum juga melepaskan diri dari pekerjaannya bahkan di malam minggu dan siapa pun yang melihatnya jelas bakal kesal.

“Sibuk amat, Bos.”

Lilah datang dengan dua gelas kopi. Satu gelas dia taruh di meja, satunya lagi dia seruput sendiri. Yang diajak bicara tidak menggubris, malah mengerutkan kening. Gerakan mengetik itu kian menjadi-jadi. Lilah ikut mengernyit. Dia sedang susun laporan atau bikin panduan santet online?

“Haaah! Lieur!” lelaki itu akhirnya menyerah. Dia sadar kedatangannya ke hotel itu untuk liburan. Lalu, dalam hati memaki sendiri karena sudah mengabaikan perempuan yang sedari tadi mondar-mandir seperti hantu. “Sori, ya,” Banyu berkata seraya mengangkat gelas kopi di meja, mengalihkan diri dari laptop dan berdiri untuk merenggangkan pinggang. “Akhir-akhir ini atasanku berengsek banget. Klien ngomel, bos ngomel. Kamu jangan ikut-ikutan ngomel, ya!”

Lilah hanya mengangkat bahu, tidak minat membahas lebih lanjut perkara pekerjaan yang membutuhkan kerumitan berpikir. Dia hanya tekun menghirup kopinya sambil menikmati pemandangan dari balkon yang—ugh—gelap. Hotel itu terletak di tengah-tengah hutan. Yang terdengar cuma bunyi tonggaret dan musik-musik jazz yang diputar di kamar sebelah, yang pintu dan jendelanya sama terbuka.

Itu adalah kali pertamanya Lilah menginap di hotel besar. Yang kamar mandinya punya Jacuzzi dan pemutar musik. Dia terlalu terkesan. Betapa uang melimpah bisa sanggup membayar ketenangan yang selama ini didambakan.

Di ujung langit, bulan berbentuk bulat sempurna dan kemerah-merahan. Banyu sudah menghabiskan segelas kopinya dan menyusul menuju balkon. “Lihat apaan euy?”

“Penampakan.”

Banyu mencibir. “Jauh-jauh. Ke kamar mandi kan bisa lihat kaca.”

“Itu sih sudah lihat tadi,” Lilah membalas. “Nyi Blorong kan?”

Banyu tertawa dan semakin lama kepalanya semakin condong. Lantas dia terhenti, “Nggak. Kamu bau melati. Pasti keturunan Suzanna.”

“Lho kan nama asliku Katemi.”

“Oh iya.”

Percakapan itu sedikitnya memudarkan garis lelah di wajah Banyu. Sepasang matanya segar kembali dan pukul dua belas malam tidak lagi terasa larut.

“Jadi kamu ngapain ngajak aku ke hotel?” Lilah bertanya, sok polos—padahal dia baru saja mengganti celana dalam dan bra dengan warna serasi.

“Ya kamu tebak dong ngapain aku  ngajak ke sini? Ngobrolin Pilpres sambil minum bandrek? Bapak-bapak banget,” Banyu terkekeh sendiri mendengar leluconnya yang garing. “Atau kamu mau aku apa-apain?”

“Kok kamu nggak seru sih,” Lilah menggerutu.

“Nggak seru gimana?”

“Harusnya kamu tuh ngomongnya bisik-bisik manja di kuping. Kayak di film barat. Terus cium leherku. Terus…”

“Seleraku nggak gitu, soalnya,” Banyu memotong. “Aku lebih suka yang spontan tanpa rencana. Mau nggak?”

“Pemerkosaan dong?”

"Beda atuh!” Banyu mengklarifikasi, takut dituduh sebagai penjahat kelamin. “Dua-duanya harus spontan. Jadi tahu-tahu udah pagi aja.”

“Itu mah disirep namanya.”

“Udah ah. Emang nggak enak kalau cuma diomongin,” Banyu duduk di sofa, melirik laptopnya lagi, tapi niatnya melanjutkan pekerjaan yang tertunda buru-buru dia hapuskan demi malam ini. “Kamu kan belum pengalaman, Seyeng.”

Lilah melompat ke atas ranjang,  lalu berguling sampai seprainya berantakan. “Makanya sekarang kasih aku pengalaman.”

“Tapi, nggak bisa dimasukin ke CV,”  seperti ada dorongan gaib, akhirnya lelaki itu beralih dan betul-betul rebahan di samping Lilah yang sedang berbaring menelungkup. “Kamu temenin aku tidur saja.”

"Ogah," Lilah melengos. “Modusnya pura-pura ngantuk, nanti pas aku tidur betulan, malah kamu apa-apain.”

“Kan aku sukanya spontanitas,” Banyu nyengir. “Belum pernah minum sprite campur insto kan?”

“Apaan tuh?”

“Ramuan herbal,” Banyu meletakkan tungkai kakinya di pantat Lilah sambil tertawa meledek. “Ternyata kamu cupu ya. Jadi nggak tega.”

“Bacot ya Anda,” Lilah menyentakkan bokong, kemudian beralih mencabut satu bulu kaki Banyu. “Rasakan!”

Banyu mengaduh. Seumur-umur, baru kali ini dia mengencani cewek yang suka mencabuti bulu kaki. “Perbuatanmu ini melanggar hak properti, tahu!”

“Cium pantatku..."

Seperti dalam kabut yang membutakan arah, Banyu bergerak terampil seolah di bawah mantra. Spontanitas. Lilah sempat kehilangan napas ketika menerima, namun perlahan mencair begitu Banyu berhasil membimbing ke tingkat yang lebih santai. Lilah merasakan bibirnya sedikit panas,  dan terus menuntut, tidak sabar. Ini menyenangkan. Lilah menikmati perjalanan itu, merasakan sekian otot-ototnya menyala satu per satu. Berdentam.

Kemudian di tengah-tengah, lelaki itu mundur sedikit, menyunggingkan senyum. “Belum pengalaman tapi keren juga.” Lalu dia menarik tubuh Lilah hingga terjungkal tepat di bawahnya, berharap semua kengerian, kesedihan dan rasa sakit yang harus dilewati bisa menyublim melintasi alam luar.

Bahkan Lilah tidak perlu melawan, tidak pula menyerahkan diri secepat itu. Spontanitas. Tidak ada satu pun yang direncanakan. Semua berlangsung dari arah yang tak disangka-sangka, ritme yang tiba-tiba, dan gelombang yang teramat mengejutkan. Lilah terkesan bagaimana Banyu mengenali setiap jengkal tubuhnya seakan-akan mereka telah melampaui keintiman yang paling dasar. Lembut, manis, aroma mint. Penyatuan itu berjalan mulus dan penuh hasrat.

Hingga keduanya berhasil tuntas bersamaan, saling melebur usai melahap satu sama lain dengan rakus dan ganas, Lilah tetap dapat merasakan ujung-ujung sarafnya bergetar dan desir darah yang membakar. 

Dia ingin mengulanginya sekali lagi. Dua kali lagi. Tiga kali lagi...

Banyu benar-benar menggunakan setiap detik dari jam itu dengan cekatan. Seperti mesin yang berderum, denyut yang awalnya tenang seketika menjelma teriakan yang hanya bisa dia dengar sendiri. 

Milikku.

Dan Lilah buru-buru menelan keinginannya untuk lanjut ketika Banyu hendak kembali menyerang. “Baik, baik. Ini sudah sangat-sangat cukup.”

Banyu otomatis berhenti, menghormati batasan itu meski dia masih bisa merasakan tubuh Lilah yang panas membara. “Oke,” dia tertawa canggung. “Kalau begitu, aku ke kamar mandi dulu.”

Lilah masih terduduk memandangi punggung Banyu yang menjauh lalu lenyap ke balik tembok. Sebab mencicipi lelaki itu seakan mengakibatkan nyeri yang bergulung-gulung hebat dalam dirinya. Ketika keduanya bersentuhan, Lilah yakin bahwa dia telah segenapnya luruh dan kosong. Segala isi yang membebaninya seakan tumpah meluberi bejana yang selama ini sengaja disimpan jauh-jauh. Bejana yang tak seorang pun berani menggapainya.

Lilah tidak tahu apakah kelak dia harus menyesal atau bahagia usai menyerahkan bejana itu tanpa syarat. Karena menurutnya, semua itu tidak lagi penting.

Banyu kembali dari kamar mandi dengan rambut basah dan tubuh yang harum sabun. Sepertinya dia habis mandi.

“Kukira sudah tidur,” lelaki itu mengempaskan tubuhnya lagi ke samping Lilah yang masih duduk di atas ranjang, harum lemon menguar dari rambutnya yang lembab. “Ngana nggak ngantuk?”

“Tadi sore kan aku sudah tidur di sini.”

“Tapi ini sudah jam 2 pagi lho.”

“Aku pernah 24 jam nggak tidur.”

Banyu melotot sedikit. “Dan baik-baik saja?”

Lilah tersenyum bangga. “Pernah tidur selama tiga hari juga.”

“Tidur apa latihan meninggal?” Banyu tertawa heran. “Hidupmu ini memang aneh ya.”

“Aku bahkan nggak tahu kenapa harus hidup.”

2 am thoughts syndrome. Banyu hafal betul gejala itu. Dengan tenang, dia mengembuskan napas, menarik selimut dan membaringkan kepala di atas bantal. “Manusia itu lahir tanpa kamus. Nggak semua hal yang terjadi harus kita mengerti.”

Lilah menatap Banyu, mendekatkan wajah. “Mukamu licin banget sih? Pakai skincare apa?”

“Air wudhu dong.”

“Katanya ateis.”

“Wudhu kan nggak harus baca syahadat dulu.”

“Iya sih.”

Banyu beralih menatap lampu kristal yang menggantung di tengah-tengah ruangan. Matanya yang minus seketika menyipit karena silau. Dia beranjak mematikan lampu itu dan membiarkan bohlam yang duduk di nakas tetap menyala.

“Tapi,” Lilah bersuara lagi sambil mengamati gerak-gerik Banyu, “kamu ngerasa lucu nggak sih kalau satu-satunya tujuan hidup itu adalah untuk mati?”

“Makanya aku sering ketawa,” Banyu beringsut kembali ke balik selimut, menghadap pas di wajah Lilah. Dalam keremangan itu, air mukanya begitu hangat dan cerah. “Kadang aku pun takjub, betapa saktinya manusia punya miliaran sel di otak. Baru di otak lho. Belum di organ-organ yang lain.”

“Sel di Microsoft excel ada berapa?”

“Uhm,” bola mata Banyu bergulir ke atas. “Berapa ya? Sepuluh ribuan? Satu juta?"

“Jadi, manusia ini programnya lebih hebat dari teknologi-teknologi masa kini ya.”

“Yang menciptakan teknologi saja manusia.”

"Teori sains juga.”

“Agama juga.”

Kali ini Lilah yang tergelak. “Kamu kalo ngomong begitu bisa dicerca masyarakat lho.”

“Sudah biasa,” Banyu mengusap-usap matanya yang semakin memerah karena ngantuk, lantas menguap dan lanjut bicara, “Agama kan memang bikinan manusia. Jadi tradisi. Jadi budaya. Tuhan yang diceritakan pun kebanyakan dari perspektif manusia. Versinya ada banyak. Tinggal pilih sesuai selera.”

“Sesederhana itu ya sebetulnya,” Lilah membenahi posisi kepala di bantal, gantian menguap. “Kamu kok pinter banget sih?”

“Karena kalau goblok, orang-orang akan meremehkan.”

Di malam itulah pertama kalinya Lilah dibuat terpukau. Luar biasa. Lelaki di sampingnya itu, selain cerdik, juga berbahaya. Dia harus hati-hati. 

Mendapati kelopak mata Banyu yang separuh mengatup, barulah Lilah berkata, "Selamat tidur, Cowok Pintar.”

Banyu tersenyum. "I love you," bisiknya lalu betulan memejamkan mata.

Lilah masih memandangi. Cukup lama sampai terdengar dengkuran halus dari arah Banyu. Ada banyak skenario yang melintasi benaknya kala itu. Tetapi hanya satu yang dia pilih; paling tidak, malam ini, tidak akan ada mimpi-mimpi buruk itu lagi.

Karena dia sudah kembali kosong. Sudah menjadi sesuatu yang lebih baru. 

"Aku sayang kamu, Banyu." [ ]


You Might Also Like

0 komentar