David M Kessler |
Banyu tidak
menyelesaikan makan malamnya. Dia berhenti mengunyah, lalu sepasang matanya
terangkat dari piring menuju sosok yang baru saja menenggak sisa air lemon di
gelas berembun. Sosok itu duduk tepat di seberang Banyu; seorang perempuan
dengan pipi bulat terbingkai rambut sepanjang dagu. Tidak cantik. Bruntusan di
jidatnya semakin banyak.
“Satu porsi
lima puluh ribu, tuh,” perempuan itu mendesis setelah meletakkan gelasnya
kembali ke meja. “Yakin nggak mau dihabisin?”
Garpu dan
sendok dikembalikan ke atas piring bersama sisa-sisa daging dan nasi yang sudah
bercampur. “Nggak tahu, rasanya mual,” Banyu menghela.
“Mual kenapa?
Karena lihat aku?” perempuan itu lalu tertawa, singkat. “Harusnya tadi aku
pakai topeng Ku Klux Klan dulu ya, baru ketemu kamu.”
“Apa sih?
Ha-ha.” Banyu nyengir. “Nggak lucu.”
“Tapi kamu
ketawa.”
“Iya, sori,”
Banyu menuangkan air putih ke gelas kosong. “Kamu lucu.”
“Dengan senang
hati.”
Keduanya
bertemu untuk pertama kali pada pertengahan Agustus lalu. Di sebuah rumah sakit jiwa
yang letaknya di penghujung kota. Mereka sama-sama punya masalah mental. Banyu
baru saja melakukan pemeriksaan berlapis setelah masa rehabnya berakhir
sementara perempuan pipi bulat itu—Lilah, dinyatakan stabil setelah
bertahun-tahun dikurung di balik jeruji ruang intensif dan diizinkan kembali
pada keluarga.
Siapa yang
peduli kalau mereka berdua sebetulnya sudah sama-sama terbuang dari keluarga.
Pertemuan itu
tak memberi kesan apa-apa. Banyu dan Lilah hanya bertukar sapa begitu memasuki
ruang administrasi, lalu bergegas ke arah yang berlawanan—melintasi koridor
berbeda. Kemudian tidak ada lagi pertemuan-pertemuan lain di hari selanjutnya.
Tidak ada lagi kalimat, “Halo, gimana rasanya waras?” yang saling terucap, sebab
keduanya sama-sama menghilang.
Lilah pulang ke
rumah yang sudah kosong. Ibu dan ayahnya sudah ditimbun tanah tiga minggu yang
lalu sementara saudaranya pura-pura tidak menyadari keberadaannya. Lilah sehat
tapi orang-orang terus menganggapnya sakit.
Tidak apa.
Lilah masih bisa bertahan hidup.
Di wilayah
lain, Banyu kembali pada ayahnya yang separuh otaknya telah dikuasai kokain.
Bau kopi basi dan alkohol merebak sampai ke pori-pori. Banyu berpikir akan
menjual rumah yang dia tempati sekarang secepat mungkin, dan membiarkan lelaki
pemabuk dan tukang cabul itu diseret petugas dinas sosial. Hidup memang keras,
dan Banyu butuh uang untuk melakukan banyak hal.
Banyu dan Lilah
tetap bertahan hidup entah bagaimana caranya.
September.
Oktober. November.
Memasuki bulan
Desember, cuaca jadi tak menentu. Sebentar-sebentar hujan, sebentar-sebentar
terik. Halte dan halaman-halaman ruko yang sudah tutup menjadi sesak oleh
pengendara motor yang numpang berteduh. Angin berembus kalap, cabang-cabang
pohon terbang menghantam kaca mobil yang baru saja lewat, papan reklame rubuh
melawan permukaan aspal, dan seseorang berlarian di trotoar menghindari
sambaran petir.
“Dingin sekali.”
“Kamu punya jas
hujan?”
“Aku saja pakai
kantong kresek.”
Pembicaraan itu
menghasilkan adegan saling tatap, dan beberapa jenak dua orang tersebut mulai berkejar-kejaran menembusi lorong ingatan. “Kamu bukannya—”
“Wah ternyata
benar kamu.”
Banyu dan Lilah
kembali bersalaman. Lilah sedikit takjub mendapati sosok Banyu yang sudah cukur
kumis.
“Kupikir kamu
lupa,” Banyu meraih kantong kresek putih yang masih menyelubungi rambut Lilah. “Sudah
potong rambut ya? Rapi.”
“Gimana? Masih
sering pakai narkoba?” Lilah tidak menanggapi pujian Banyu dan lebih memilih menanyakan
hal lain. “Sekarang pasaran pil koplo per butir berapa?”
Orang-orang di
sekeliling mereka diam-diam menguping.
“Sekarang aku
jualan kapsul spirulina,” Banyu menjawab asal. “Aku belum makan. Kamu juga
pasti belum. Yuk.”
Lilah
menggeleng. “Sudah makan nasi padang.”
Banyu mencibir.
“Nanti lapar lagi.”
“Mau traktir?”
“Nggak,”
giliran Banyu menggeleng. “Kita kan bisa cuci piring sama-sama kalau nggak mampu
bayar.”
Lilah tertawa. “Kupikir
kamu sudah sugih.”
“Harusnya sih
begitu.” Percakapan itu pun diakhiri tanpa debat lebih panjang dan hujan
tahu-tahu berhenti. Lilah turut menaiki CBR merah yang kini ditunggangi Banyu.
Kantong kresek putih yang menutupi kepalanya melayang ke jalanan.
Satu bulan. Dua
bulan. Tiga bulan.
Banyu dan Lilah
masih mengobrol. Rambut Lilah sudah panjang sebahu. Wajahnya perlahan mulus
karena pakai spirulina pemberian Banyu. Mereka ternyata sudah pacaran.
Tidak ada yang
khusus. Semua berlalu sama saja. Banyu menelepon Lilah, dan Lilah mengangkat
telepon dari Banyu. Lilah memasak untuk Banyu. Dan siapa yang sangka dua orang
itu perlahan sama-sama jatuh cinta.
Tetapi Lilah
sadar. Banyu baru saja tidur dengan perempuan lain. Semalam.
“Sudah berapa
banyak perempuan yang kamu perlakukan begini?” pertanyaan itu spontan mencelat
dari bibir Lilah setelah keduanya berciuman. Banyu hanya diam.
Empat bulan
berlalu. Banyu dan Lilah masih bersama. Tetapi Lilah sudah memotong rambutnya
dan membuang seluruh spirulina yang masih tersisa. Wajahnya ditumbuhi jerawat
lagi. Lilah tidak cantik dan menarik, seharusnya perempuan itu sadar sejak awal.
“Kenapa sih
kamu terobsesi sekali dengan kecantikan?” Banyu berkata dengan nada lebih
tinggi dari biasanya.
Lilah mengernyit.
“Bukannya itu penting?”
“Nggak, itu
nggak penting,” Banyu menyentuh bahu Lilah yang tegak kaku. “What matters is in your head, Baby.”
“Kalau
omonganmu itu benar, kenapa klinik kecantikan lebih ramai ketimbang
perpustakaan?” Lilah tertawa, tetapi air mata sudah menunggu untuk ditumpahkan.
“Dan kamu tidur sama cewek lain.”
Banyu mematung
beberapa jenak. Perasaan bersalah menyorot intens dari pandangannya yang
ditudungi kacamata. Dia menghela berat, mencondongkan tubuh sedikit, hendak
mencium, tetapi Lilah menolak cepat-cepat sentuhan itu dan memilih menjauh.
“Ternyata aku
memang naif dan kamu bodoh,” Lilah menggeleng, menyadari bahwa apa yang
dijalaninya adalah kesalahan fatal.
“Are we okay?”
“Nggak, Banyu,”
Lilah berbicara sekali lagi, dan sialnya, dia mengedip. Satu bulir bening
sontak meleleh lewat sudut matanya. “Kita nggak akan pernah baik-baik saja.”
Enam bulan dan
semuanya berakhir.
Piring-piring
kotor sudah dibereskan. Banyu dan Lilah duduk berhadap-hadapan, menunggu para
pelayan restoran menyelesaikan pekerjaan, dan melanjutkan pembicaraan setelah pelayan-pelayan itu memasuki dapur kembali.
“Aku sayang
kamu, Lilah.”
“Aku juga
sayang kamu,” Lilah tersenyum dan Banyu berkedip gugup. “Tapi, aku lebih sayang
diriku sendiri. Untuk sekarang.”
“Apa sudah ada
yang menggantikanku?” Banyu terus mencecar. “Apa ada orang lain yang…”
“Kenapa kamu
khawatir sekali?” Lilah memotong. “Bukankah dengan begini kamu bisa bebas tidur
dengan siapa pun?”
“Jangan ungkit
itu lagi.”
“Aku cuma nanya,” Lilah tertawa. Wajahnya yang tidak cantik justru membiaskan rona
yang berbeda. Rona kebebasan. “Aku bayar sendiri, ya.”
Banyu tidak
mencegah Lilah yang sudah beranjak lebih dulu untuk kemudian melangkah menuju
kasir. Lelaki itu cukup tahu diri bahwa malam ini memanglah momen terakhir keduanya
bertemu dan saling menyapa. Tidak akan ada esok, lusa atau kapan pun.
Karena sekarang
Lilah sudah pergi menuruni undakan tangga. Tanpa sedikit pun menoleh. [ ]