Jennifer Banzaca |
Di sepanjang aliran ingatan yang
berlabuh pada satu muara, saya yakin kehidupan ini tak lebih dari sederet
teka-teki tanpa jawaban. Sebuah permainan tanpa instruksi. Selintas labirin
yang tak punya jalan keluar. Dan beberapa orang, yang kerap saya temui, terlalu
serius dalam menghadapi kehidupan. Mereka terus melangkah, menapak sejengkal
demi sejengkal, tanpa pernah tahu di mana sebetulnya tempat pemberhentian yang
harus mereka tuju.
Tak ada satu pun yang tahu. Tak
ada yang mengerti meski perlahan-lahan waktu mulai menelan keberadaan mereka.
⧭⧭⧭
Pagi belum menyentuh bibir langit,
dan saya terus terjaga, menyimak dengkuran seekor induk kucing yang melingkar
di keranjang bawah kasur, tampak tenang menyusui kelima anaknya yang seukuran
telapak tangan. Tahu-tahu ponsel saya berdering, alarm berbunyi, dan segera
saya menelepon seseorang—melakukan sesuatu yang kini menjelma rutinitas.
Dalam hitungan detik, suara berat
yang sesekali disela gesekan udara menyambut dari seberang. “Kamu habis nangis,
ya?”
“Sok tahu,” saya memang senang
berbohong. “Aku cuma pilek.”
Seseorang di seberang itu lantas
tertawa. Dari pertama kali kami bertemu, dia gemar sekali tertawa. Entah apa
yang lucu, yang jelas, dia akan selalu tertawa. Dia bilang, kebahagiaan itu
menular. Seperti wabah virus.
“Yang lama-kelamaan akan meracuni
orang-orang sampai mati, iya, kan?” saya bertanya retoris pada suatu hari,
ketika dia terus menasihati saya untuk berhenti bersedih dan mulai tertawa.
Kebahagiaan itu racun, Sobat. Pun
kesedihan. Semua yang terjadi di dunia ini adalah racun. Menginfeksi tiap-tiap
persendian dan kamu bakal merasa capek tak peduli seberapa sering kamu
tertidur.
Begitu saya mengatakan sesuatu
yang mengundang kesinisan, laki-laki itu pasti tertawa—dengan sepasang mata
menyipit, kedua sudut bibir tertarik ke atas dan cuping hidung yang mengerut.
Benar, saya suka, tapi terkadang juga bikin muak sekaligus murka.
Kehadirannya yang tiba-tiba
seakan memunculkan satu pertanyaan baru dalam kepala saya. Nggak, nggak. Bukan cuma satu, tapi banyak. Mungkin selusin. Atau
lebih. Saya tak suka menghitung.
“Kenapa sih kamu datang? Apa kamu
betulan nyata… atau semua hanya khayalanku saja?” saya pernah melontarkan
pertanyaan itu padanya, dan tak pernah mendapat jawaban.
Sampai sekarang, ketidakpercayaan
itu terus membelit. Saya tak pernah percaya bahwa ada seseorang yang begitu
murah hati, yang rela menawarkan kebahagiaan kepada saya tanpa syarat dan
ketentuan berlaku.
“Seriously?
In this system? In the world filled with capitalism and rats?” Giliran saya
yang tertawa segera setelah dengan
naifnya dia berkata bahwa dia akan begini, begini, dan begini. Saya bukan bocah
dua belas tahun yang gampang terhasut omong kosong.
Tapi, bagaimanapun, saya tahu dia orang yang baik. Mungkin itu sebabnya kenapa saya sering merindukannya.
Merindukan dia yang telah membantu saya untuk kembali menata siasat agar terus
bertahan hidup.
Lambat-laun, di luar kesadaran, seiring ingatan saya bergulir, matahari
mulai terlihat. Kehidupan yang baru mulai menggeliat. Saya tak menyangka sudah
menghabiskan satu jam lebih dengan melakukan percakapan lewat telepon. Sebuah
rekor yang patut saya apresiasi untuk waktu sepagi ini.
Usai percakapan panjang itu diakhiri, seperti biasa, ingatan yang berayun-ayun kini mewujud perlahan. Laksana gelembung-gelembung yang menyembul di
permukaan sumur tua tak berdasar. Gelembung-gelembung itu kemudian memenuhi saluran
pernapasan saya. Berdesakan dalam benak dan berdenyut, seakan hendak mengambilalih seluruh kehidupan di sini.
Jangan sampai kalah. Pagi ini saja...
Jangan sampai kalah. Pagi ini saja...
Apa yang terjadi bukan main-main. Keadaan itu terus berulang
seperti telah terprogram sejak lama. Saya membungkuk untuk menahan
gelembung-gelembung itu agar tidak muntah keluar. Kenyataannya, kehadiran
seseorang itu tidak serta-merta menghilangkan gelembung-gelembung pahit yang
terus menggerogoti saya serupa parasit mematikan.
Dengan mengatur kekuatan paling
maksimal, saya memaksa diri untuk bangkit. Menggapai baju-baju kemarin yang tidak
kotor dan memakainya lagi. Berbahagialah,
ucapan itu terasa seperti guyonan sepele, dan spontan saya tertawa karena
saking lucunya
Di latar belakang, terdengar suara-suara mendekat di depan
pintu kamar. Saya hafal langkah kaki siapa itu.
“Kamu bakal terus-terusan tidur di situ atau mau melakukan sesuatu yang bagus buat keberlangsungan hidupmu?” Ibu saya
memang tak pernah mengetuk pintu, dan saya juga tak pernah mengunci pintu
kamar. Wajah bersihnya yang kini cemberut tampak menyembul di balik celah kusen—wajah yang rutin
dibubuhi produk perawatan kulit Korea.
Saya menatap Ibu tanpa semangat.
Dia bahkan tidak tahu kalau saya tidak tidur sepanjang malam. [ ]