Di tengah keputusasaan, saya duduk di kursi nomor 14 dalam sebuah bus antarkota. Langit mulai temaram, lampu-lampu jalan menyala dan sinar halogen yang menyorot dari kendaraan lain seakan menembus kaca jendela di mana kepala saya bersandar.
Perjalanan kali ini cukup menyesakkan, kendati sebelumnya saya sudah pernah melewati hal serupa, tapi untuk kali ini, rasanya lebih berat.
Seiring bus yang bergulir semakin jauh, napas saya seperti terasa satu-satu. Bagaimana mungkin saya berhasil menanggung semuanya sendirian bahkan di usia yang nyaris menyentuh tiga puluh?
Saya menemukan pantulan wajah sendiri di kaca jendela bus. Ada beberapa perubahan yang bersemburat di sana tetapi tatapan itu tak kunjung berubah.
Tatapan dari masa lampau yang seakan bertanya, "Bagaimana bisa kamu tetap bertahan ketika hidup mati-matian hendak membunuhmu?"
Bongkahan dalam ruang dada seakan berkembang, mengimpit, hingga rasanya sulit sekali untuk menghela. Lampu dalam bus tahu-tahu dimatikan, saya tak bergeming meski pelan-pelan bisa merasakan bola mata yang mendadak panas. Lagi-lagi pertanyaan itu berputar di telinga, mengisi relung-relung di balik tempurung kepala dan mengacaukan segala pertahanan yang setengah mati saya genggam.
"Bagaimana bisa kamu tetap hidup?"
Diam-diam saya menangis. Banyak sekali kilas balik yang kompak menghantam ingatan sampai saya berasa babak belur. Saya mengutuki betapa sialnya kehidupan yang harus saya jalani, kehidupan yang ingin sekali saya akhiri tapi tak juga berakhir.
Bus seketika melaju kencang membelah lintasan tol. Saya sontak membayangkan kalau-kalau ada truk gandeng yang tiba-tiba mencelat merobek tubuh menjadi dua.
Bagaimana rasanya mati? Bagaimana rasanya selesai menjalani hidup?
Saya kira saya sudah beres. Saya kira saya sudah berdamai dengan waham-waham yang kerap menemani saya di masa silam. Kenyataannya, saya hanya terdistraksi. Keadaan itu sesungguhnya akan selalu mengiring ke mana pun saya melangkah. Keadaan yang sudah menjadi bagian dari diri saya.
Sekuat mungkin saya menata kembali pikiran-pikiran yang mulai berantakan. Hati kecil saya terus bergumam, "Saya sudah pernah berada dalam posisi ini, seharusnya saya bisa lebih telaten ketika melewatinya lagi."
Cepat-cepat saya menyeka wajah yang lembap akibat air mata. Usia saya tidak lagi muda, semestinya saya belajar dari yang sudah-sudah, apa pun yang dipaksakan tidak akan pernah menghasilkan kebaikan.
Termasuk memaksakan kematian.
Itu sebabnya saya memutuskan untuk terus melanjutkan hidup. Meski harus menempuh perjalanan yang teramat jauh dan melelahkan. Perjalanan yang tanpa siapa-siapa. Perjalanan yang cuma berisi keterasingan dan dengung jarum jam yang berdetak tanpa jeda, seolah hendak mengingatkan bahwa satu-satunya yang mampu mengalahkan segala hal hanyalah waktu.
Lalu saya tertidur di dalam bus.
Kemudian saya memimpikan keceriaan tanpa pretensi. Saya bermimpi menaikki undakan tangga untuk kemudian menjajaki babak baru yang sebelumnya saya kira tak pernah ada.
Saya bermimpi menjadi sosok yang bahagia.
Sosok baru yang tidak pernah meragukan diri sendiri bahkan secuil pun. Sosok yang secara utuh menerima kenyataan bahwa dia memang layak mendapatkan kehidupan yang bergairah. Kehidupan yang penuh renjana.
Sosok yang sampai saat ini berusaha saya ciptakan, yang entah kapan bisa terwujud.
[ ]