Google Images |
Janssen’s sepi. Saya baru
memainkan satu buah lagu dengan piano upright
yang berada di pinggir ruangan, berdiri tepat di tengah-tengah susunan kursi
dan meja. Barista di sana, sebagai satu-satunya audiens yang rutin mendengarkan
permainan saya yang amatir, memberi tepuk tangan riang. Dia meminta
saya untuk bermain lagi, tapi saya menolak dan memilih kembali ke kursi paling
sudut.
“Saya mau menangis dulu,” saya
bilang kepada barista tersebut yang berarti saya butuh segelas matcha latte dan dia segera meluncur ke
balik mejanya sendiri untuk meracik minuman.
Ketika saya bilang ingin
menangis, saya benar-benar melakukannya. Pertama kali saya masuk ke sana,
barista yang berjaga sontak kelimpungan, mendadak terkena serangan panik mendapati seorang cewek yang
duduk sendirian tiba-tiba sesenggukan di bangku paling pojok. Mungkin saat itu saya tampak sangat menyedihkan, tapi sungguhan, rasanya lega begitu
segenap beban yang menggenang di pelupuk mata tahu-tahu luruh hanya dengan
sekali kedip. Namun, barista di sana tetap saja menatap saya dengan khawatir
sekaligus penasaran, apa yang membuat saya menangis?
“Ini bagian dari pertahanan diri,
Mas,” saya selalu menjawab itu, kemudian saya akan pesan matcha latte karena lambung saya mengharuskan saya puasa kopi untuk
beberapa bulan ke depan. Harga matcha
latte hanya delapan belas ribu rupiah dengan tambahan keripik kentang satu
baki kecil. Terkadang saya heran, kenapa Janssen’s nyaris tak pernah ramai
seperti tempat-tempat ngopi yang beberapa kali saya datangi. Tak ada alasan
untuk tidak mampir ke Janssen’s, pikir saya.
Tetapi, letak Janssen’s sangat
sulit dijangkau oleh visual. Maksud saya, posisinya menyelinap di antara salon
gunting rambut dan toko pakan kucing. Jika tidak diteliti dengan baik, Janssen’s
tidak akan bisa ditemukan. Orang-orang di kota ini kurang suka berjalan kaki,
makanya tak banyak yang singgah ke Janssen’s kecuali orang yang kebetulan turun
menjelajahi emperen ruko-ruko di Veteran. Seperti saya, contohnya. Saya
berkenalan dengan Janssen’s sekitar
delapan bulan silam, sebelum saya lulus kuliah. Kebetulan saya parkir di
depannya untuk membeli makanan kucing, lalu tak sengaja melihat ada kedai kecil
yang terhimpit seperti bocah TK di antara padatnya penumpang LRT.
Mungil dan imut.
Janssen’s pun resmi menjadi
tempat favorit saya. Ada piano juga di sana. Setiap ke tempat itu, tangan saya
mendadak gatal-gatal kalau belum menyentuh tuts-tutsnya. Saya bukan pemusik,
tidak pula berkeahlian khusus dalam musik. Hanya penggemar biasa, dan permainan
saya juga tidak keren-keren amat.
Saya pernah mengajak seseorang untuk
sekadar mengobrol santai dan menyaksikan saya main piano. Dia bilang permainan
saya biasa-biasa saja, tipikal lelaki yang selalu mengatakan apa yang ada di
dalam pikirannya. Dia hanya terkesan dengan bagaimana saya tampak percaya diri
memamerkan hal yang sebetulnya tidak begitu menarik. Dan saya setuju itu. Saya
memang medioker dalam segala hal. Dalam seluruh aspek yang saya pelajari, saya
tidak pernah jadi yang unggul. Atau yang terbaik. Kalau pun saya menguasai satu
hal, itu tak lebih dari satu poin di atas nilai standar.
Lalu saya bercerita bahwa Janssen’s
adalah tempat menyenangkan. Saya biasa menangis di sini, kata saya dan dia
tidak tertawa—karena itu memang bukan lelucon.
Barista Janssen’s lambat-laun
hafal dengan rutinitas saya. Dia tidak akan kaget lagi tiap kali menemukan mata saya yang
basah saat menatapnya untuk menerima buku menu yang disodorkan
(padahal saya tidak butuh buku menu; saya pasti hanya akan pesan matcha latte selepas menangis lalu pulang ke rumah).
Tapi sore ini saya tidak akan sendirian. Saya menunggu seorang teman yang bilang mau menyusul lima menit lagi. Dia bilang dia siap mendengar cerita-cerita saya semenjak kepulangan saya dari kota orang. Teman saya itu bernama Martin. Duda tanpa anak.
Usianya baru dua puluh delapan dan sudah mengalami satu kali perceraian hampir
setahun yang lewat. Saya bertemu dengannya di sebuah minimarket. Kira-kira tiga minggu yang lalu. Waktu itu saya
berbelanja bahan sarapan. Begitu sampai di meja kasir dan petugasnya
menyebutkan nominal yang harus saya bayar, saya baru sadar bahwa dompet tidak
ada di kantong. Martin, kala itu, berdiri di belakang saya, cukup terganggu karena mesti
menunggu lebih lama. Diam-diam dia memahami masalah apa yang sedang terjadi,
dan memutuskan untuk membereskan semuanya dengan menyela dan berujar, “Saya saja yang
bayar, Mbak.”
Perkara pun ditutup.
Saya berjanji akan mengganti uang
tersebut. Saya tidak suka berutang, sekalipun dengan orang yang sangat saya
kenal—apalagi ini, orang asing yang bahkan golongan darahnya saja saya tidak
tahu.
Saya memberinya nomor kontak
untuk berjaga-jaga jika dia mengira saya seorang penipu. Dia tidak menolak, dan
saya meyakinkan dia sekali lagi kalau setelah ini saya akan segera mengirimkan
uangnya. Dia hanya mengangkat alis sekilas dan melaju bersama motornya begitu
saja.
Saya menunggu Martin menghubungi
saya dengan perasaan khawatir. Semalam, dua malam, dan saya menyesal kenapa saya tidak sekalian meminta
nomor telepon atau nomor rekening atau alamat rumahnya saja agar uang yang saya pegang ini segera
memiliki tuan.
Di malam keenam berikutnya, barulah sebuah nomor
asing mengirimi saya pesan singkat. Tidak ada tanda-tanda penagih utang, hanya
pertanyaan, “Kenapa kamu bisa ceroboh?” dan saya tahu itu adalah Martin.
Saya bahkan tidak menyangka jika Martin
seorang duda kalau bukan dia sendiri yang menjelaskan.
Kembali ke suasana Janssen's yang keemasan dan kuno, Martin langsung mengisi kursi kosong di depan saya begitu masuk ke dalam, mulai menyimak jawaban-jawaban atas pertanyaan yang dia lemparkan ke saya, kemudian bertanya lagi, “Jadi kamu menyesal sudah pulang
ke sini?”
Sudah saya bilang, dia gemar sekali bertanya—saya bahkan sempat bergurau kalau dia lebih cocok jadi jurnalis ketimbang petugas lapas.
Sudah saya bilang, dia gemar sekali bertanya—saya bahkan sempat bergurau kalau dia lebih cocok jadi jurnalis ketimbang petugas lapas.
Saya menyeruput minuman yang
sudah berembun karena terlalu lama dibiarkan. “Hidupku emang penuh penyesalan
sih.”
“Jogja semenarik itu ya?”
“Bagus untuk pelarian,” saya
menjawab cepat. “Di sana, semuanya bikin bahagia. Tapi, kayaknya bahagia di
hidupku punya masa kedaluarsa.”
Martin tertawa. Padahal saya
sedang tidak melucu.
“Dan kenapa kamu nggak mau aku
bayar utang?” gantian saya bertanya.
Martin memandang saya sepersekian detik sebelum akhirnya bilang, “Sedekah.”
“Oke. Makasih.”
Lalu Martin pesan pisang goreng. Dia menawari saya untuk pesan lagi tapi saya bilang saya sudah kenyang.
Sebetulnya tidak ada yang istimewa dari
orang itu, tapi dia baik, selayaknya manusia yang beberapa kali saya temui.
Bagaimanapun, tetap saja, saya harus hati-hati. Tidak ada alasan kuat untuk
mempercayai seseorang yang baru dikenal. Terutama di kota ini.
Di tiga jam semenjak saya dan
Martin duduk berhadapan, baru muncul dua-tiga orang yang menjadi pengunjung
baru di Janssen’s sore itu. Masih muda-muda. Mungkin anak SMA atau kuliahan
semester awal. Perlahan-lahan suasananya menjadi ribut.
Dan bersamaan dengan itu, sesuatu mengalihkan telinga saya. Saya mendengar lagu yang sepertinya tidak asing. Lagu yang selalu muncul dalam shuffle list;
It Takes a Lot to Know a Man dari Damien Rice diputar lewat kotak-kotak pengeras suara, saling beradu dengan kebisingan anak-anak muda yang baru datang itu. Tanpa disadari, keadaan di luar sudah gelap pekat dan bahan obrolan antara saya dan Martin sudah habis sejak lima menit lalu (belakangan ini saya memang sengaja membatasi diri ketika mulai berbicara dengan siapa pun).
It Takes a Lot to Know a Man dari Damien Rice diputar lewat kotak-kotak pengeras suara, saling beradu dengan kebisingan anak-anak muda yang baru datang itu. Tanpa disadari, keadaan di luar sudah gelap pekat dan bahan obrolan antara saya dan Martin sudah habis sejak lima menit lalu (belakangan ini saya memang sengaja membatasi diri ketika mulai berbicara dengan siapa pun).
It takes a lot to know a woman...
Martin berusaha mengembalikan tensi percakapan yang mulai redup tapi saya mulai kehilangan konsentrasi.
Martin berusaha mengembalikan tensi percakapan yang mulai redup tapi saya mulai kehilangan konsentrasi.
A lot to comprehend what’s coming
Saya berharap dia paham kalau saya kepingin sendirian saja.
Saya berharap dia paham kalau saya kepingin sendirian saja.
A mother and the child
"Sudah malam, nanti aku dicari orang tua," akhirnya saya bisa mengatakan itu. "Balik, yuk."
"Sudah malam, nanti aku dicari orang tua," akhirnya saya bisa mengatakan itu. "Balik, yuk."
The muse and the beguile
Martin pun menawari saya tumpangan,
saya bilang saya sudah pesan Grab. Dia memutuskan untuk menunggu dan itu
membuat saya sebal. Saya berharap dia pulang duluan sehingga saya bisa duduk
sendirian lebih lama lagi. Tapi, persis dengan semua laki-laki yang saya kenal,
Martin juga keras kepala. Dia mengamati ponsel saya yang bahkan tidak menyala.
Saya bukan penipu tapi saya (biasanya) pintar berbohong.
“Kenapa menolak bantuan orang
lain?” dia bertanya seolah-olah saya bakal menjawab.
It takes a lot to give...
“Aku pulang sendiri sudah biasa,
santai saja,” saya membalas seraya menyalakan ponsel.
To ask for help...
To ask for help...
Martin memicingkan mata. “Yakin?”
“Kenapa nggak?” saya mengangkat
tatapan, kembali kepada wajah Martin. “Kita baru kenal. Kenapa aku harus yakin sama
tawaranmu?”
To be yourself...
To be yourself...
Untuk kali pertama, saya melihat
air muka Martin benar-benar berubah. Saya pikir, saya baru saja melukai harga dirinya. Sepertinya saya membuat dia tersinggung.
What are you so afraid to lose?
Saya sudah menduga itu, dan saya
bersyukur dia akhirnya betulan meninggalkan saya.
What is it you’re thinking that will happen if you do?
Setelah itu, saya tidak pernah menerima
pesan apa-apa lagi dari Martin. [ ]