Picasso |
“Heh! Kamu Siti Aisah, kan?”
Seorang cewek berumur akhir 20-an menjulurkan sebelah tangan ke luar jeruji
yang membatasi dirinya, hendak menjawil saya. “Kamu pasti tunangan Salman.”
Saya mengernyit, lalu menyimak
cewek itu yang tahu-tahu berzikir dengan suara lantang sampai ke ujung bangsal.
“Laaaailaaaahailallaaaaah.”
Seorang juru rawat lantas muncul,
dan terhenti manakala saya mengeluarkan ponsel dari dalam tas. “Dilarang
mengambil foto pasien ya, Mbak,” cecarnya kemudian berlalu untuk masuk ke salah
satu kamar inap gaduh gelisah Rumah Sakit Jiwa.
Dan si cewe yang tinggal di balik
jeruji itu pun cengar-cengir ke arah saya, meracau seputar pernikahan, dan menyebut
nama-nama orang yang sama sekali nggak saya kenal. Tak lama, dia berzikir lagi
seraya duduk di lantai dengan kepala menggeleng-geleng.
Setelah puas menyaksikan hiruk
pikuk di tempat yang bagi orang luar tampak mengerikan (tapi bagi saya tempat
itu serupa rumah baru), saya bergegas ke lantai dua. Menemui Kepala Perawat dan
banyak berbincang dengannya. Nggak seperti Kepala Bidang lain yang cuma mau
jawab ketika ditanya, Kepala satu ini cukup terbuka dengan saya. Banyak persoalan
yang memang sedang dihadapi terutama masalah kesadaran kesehatan jiwa. Ada
sejumlah kasus menyedihkan di mana pasien yang sudah sembuh terpaksa diantar
pulang dengan tim khusus karena nggak ada respons dari keluarga.
Saya trenyuh begitu Kepala
Perawat menyebutkan kalau banyak pasien yang sengaja ditelantarkan oleh
keluarganya, bahkan nggak diterima dan dibiarkan meninggal di kamar rawat tanpa
sekalipun dijenguk. Ketika kisah itu diceritakan, saya sempat triggered. Saya nyaris nangis di tempat,
tapi beruntung saya berhasil mengendalikan diri meski suara saya jadi sedikit
gemetar sewaktu kembali melanjutkan wawancara.
Di lingkungan yang senyap dan
terisolasi, saya melihat banyak kesedihan di sana. Terutama ketika saya
memasuki salah satu ruang rawat inap berisi pasien-pasien yang rentan ‘jatuh’
dan pernah berusaha bunuh diri. Saya menyapa perawat yang sedang berjaga, dan
seorang anak perempuan berkulit putih bersih dalam balutan kaos seragam
kuning-biru tahu-tahu mendekati jeruji yang berada tak jauh darinya. Menatap
saya dengan kedua bola matanya yang bundar, seakan ada banyak pertanyaan
tentang kehadiran saya yang berlompatan dalam kepalanya.
Anak perempuan itu, saya
perkirakan, masih berusia lima belas atau enam belas tahun. Seluruh rambutnya
dicukur sampai plontos persis pasien kanker. Meski mulutnya tak mengatakan apa
pun, tetapi matanya seolah berbicara sewaktu saya tersenyum kepadanya. Ada
kepedihan dan kegetiran, dan samar-samar saya bisa mendengar dia bilang, “Kenapa
aku harus ada di sini?”
Saya ingin tahu banyak tentang
anak perempuan itu dan, sialnya, si perawat malah menolak memberitahu identitas
pasien. Meski saya sudah janji kalau pertanyaan itu off the record, si perawat tetap ngeyel dan bilang kalau dia cuma
mematuhi prosedur.
Bahkan sampai malam ini, saya
masih terpikir, apa yang membuat anak semuda itu ditahan dalam jeruji. Kenapa
dia harus hidup dikelilingi tembok-tembok dengan gerak terbatas. Terisolasi
dari dunia luar.
Karena, entah ada apa, ada
sesuatu yang menarik dalam diri anak itu. Semacam ada lapisan-lapisan yang
menyelubunginya, yang cukup mengganggu insting saya. Dengan hanya duduk bersila
di depan jeruji, tanpa ekspresi yang jelas, dia terus-terusan menatap saya,
nggak peduli teman-teman sekamarnya mondar-mandir di sekitar. Anak perempuan
itu hanya diam, tetapi pandangannya tak juga lepas dari wajah saya walaupun
kaki saya mulai bergerak menjauh.
Ada apa?
Kepalanya yang botak juga cukup
mencolok di antara pasien-pasien yang terlihat “normal”. Apa yang membuat
rambutnya harus dicukur? Kenapa dia mau bunuh diri?
Dan, sialan lagi. Malam ini saya
kembali menghabiskan jam malam hanya untuk merenung dan memikirkan anak
perempuan itu.
Anak perempuan di Kamar Merpati.