Old Man in Warnemunde Edvard Munch painting |
Herbert Burmer
pernah bilang, ada tiga asumsi dalam sebuah teori yang menyatakan bahwa manusia
membentuk makna melalui proses komunikasi:
1.
Manusia bertindak berdasarkan makna yang
diberikan orang lain kepada mereka.
2.
Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia.
3.
Makna dimodifikasi melalui interpretasi.
Dan sekarang teori
tersebut dikenal sebagai Teori Interaksi Simbolik.
Pemikiran itu jelas
bukan karangan yang dibuat-buat. Sebelumnya, sempat tercetus Teoretikal Perspektif
yang lahir dari gagasan orisinal Mead—yang menjadi cikal bakal dari Teori
Interaksi Simbolik itu sendiri. Dalam terminologi yang pernah dipikirkan Mead,
setiap isyarat non-verbal dan pesan verbal yang melibatkan kesepakatan bersama
dalam suatu interaksi merupakan suatu bentuk simbol yang memiliki arti penting.
Sebab perilaku seseorang tentu dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh
orang lain, demikian sebaliknya. Melalui pemberian isyarat berupa simbol;
bahasa; gestur, maka orang-orang dapat mengutarakan perasaannya, pikiran,
maksud, dan semacamnya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang
lain.
Jadi rasanya cukup
akurat bila ada beberapa kutipan yang bilang, “Lingkungan adalah bentuk
refleksi dari dirimu.”
Pikiran (mind) tentu menjadi determinan paling
mendasar dalam rangkaian perilaku seseorang, karena—percaya atau tidak—sebuah
pikiran memiliki kekuatan besar dalam membaca simbol-simbol, bahkan menginterpretasikan
makna-makna di balik tone suara lawan
bicara ketika sedang menjalin interaksi. Sebuah pikiran, secara harfiah,
dianggap dapat memelihara sudut pandang tentang gelagat orang-orang yang menjadi
bagian dari lingkaran tersebut. Sehingga muncullah persepsi, prejudise,
perspektif dan anggapan-anggapan yang berkemungkinan menuntun seseorang untuk membangun
suatu hubungan komunikasi dengan macam-macam bentuk.
Jujur, saya baru
mempelajari teori itu di pagi ini. Ketika saya datang ke kantor dengan
tergesa-gesa dan ternyata ruangan masih kosong dan seperti hari-hari
sebelumnya; menganggur. Mengingat hari kejepit nasional yang cukup pendek
(jadwal pulang pukul sebelas siang, dan rasanya memang lebih baik mengisinya
dengan liburan weekend daripada nanggung karena besok libur lagi. He-he).
Orang-orang menuntut
saya untuk aktif di lingkungan baru. Saya pun jelas kebingungan, bagaimana bisa
saya bersikap demikian sementara orang-orang di dalam ruangan nyatanya cuma
leyeh-leyeh tanpa ada pekerjaan penting. Saya, seorang mahasiswa magang, tentu
nggak yakin buat mengganggu para pegawai senior itu dengan pertanyaan, “Ada
yang bisa dikerjakan nggak? Ada yang bisa saya bantu?”
Lah wong sudah jelas
mereka lagi santai, nggak repot, nggak perlu di-assist. Ngapain nanya? Basa-basi?
Hnggg.
Jadi di sini saya
mulai melatih kepekaan dan insting supaya nggak jadi hama. Ketika situasi
sedang santai, nggak perlu basa-basi menawarkan bantuan, yah pahami konteks
sajalah. Nggak semua orang suka ditanya-tanya.
Maka satu-satunya
cara supaya saya kelihatan ramah adalah:
Cengar-cengir.
Ini awkward. Karena pada dasarnya saya
memang nggak suka cengengesan, tapi demi menunjukkan sikap respek, dan cukup
tahu diri buat nggak sok sengak, maka saya palingan ikut tawa-tawa ketika
orang-orang di ruangan mulai merumpi. Agaknya saya sedikit terhibur dengan
kondisi seperti ini.
Lalu, sewaktu saya
sendirian di ruangan, dan jam sudah menunjuk angka setengah sembilan, seorang
bapak-bapak tukang kebun, dengan topi hijau yang dibubuhi tulisan LINMAS, berkaos kuning kumal, celana panjang yang digulung sampai atas mata kaki, masuk buat mematikan kran kamar mandi yang masih
mengalir, kemudian tersenyum hangat melihat saya yang cuma bisa bengong duduk
di pojokan.
“Duduk sebelah sini
saja, Dik,” katanya seraya menggeser kursi busa berwarna biru yang menganggur di
sebelah saya duduk. “Jangan di depan WC gitu. Bhahah.” Dia ketawa dan—sungguhan—meski
tampilannya sederhana laiknya pria sepuh kebanyakan, bapak itu sanggup menularkan
energi positif ke dalam diri saya.
“Nggak apa-apa, Pak.
Sekalian jagain WC ketimbang nggak ada kerjaan,” saya menyahut sambil guyon.
Bapak itu tertawa
lagi. Lalu berdiri dengan kedua tangan bertumpu di meja depan, sekilas
bercerita dengan sepasang mata menerawang. “Memang beginilah kalau setiap hari.
Orang-orang datang siang, tapi gajinya gede. Enak sih pegawai negeri, eh—tapi masuknya
juga susah kan ya…”
Saya nyengir. “Bapak
kerja di sini honorer?”
Dia mengangguk. “Yah,
udah pensiun sebetulnya. Tapi daripada di rumah nganggur, jadi lanjut kerja di
sini. Merumput, bersihin halaman, pokoknya bersih-bersih.”
“Per bulan gajinya
berapa, Pak?”
“Sejuta.”
Saya lalu kepikiran
sama anak dan istrinya di rumah. Saya kepingin nanya, tapi sepertinya terlalu
dini buat kepo banyak-banyak. Jadi saya cuma diam untuk mempersilakan si bapak
lanjut bercerita.
“Cari kerjaan susah,”
ujar bapak itu lagi. “Anak saya juga sarjana. Tapi sampe sekarang masih
menganggur. Kemarin sempat kontrak, tapi diputus. Laki-laki. Jadi sekarang
masih di rumah. Hmm,” kemudian matanya melayang ke wajah saya. “Tapi kalau
perempuan, mudah cari kerja. Serius. Yang penting penampilan menarik dan
lincah. Nah kamu kan cantik, gampanglah cari kerja nanti.”
Saya berseru, “Aaaamiiin.”
Kemudian dalam hati
menertawakan anggapan si bapak yang kayanya sumir, sebab muka saya kan
ketutupan kacamata. Jadi kejelekan yang saya banggakan ini nggak bisa tampil
maksimal.
Mendadak kekakuan,
ketegangan dan segala kerikuhan yang saya rasakan sekejap mencair. Saya yakin,
tempat ini, meski agak bobrok dan kurang ideal, bisa menghapuskan kecemasan dan
rasa antipati saya terhadap manusia. Dimulai dari kalangan atas semacam Kepala
Bidang, Kepala Seksi, hingga kaum inferior seperti bapak tukang kebun yang
ramah, semuanya secara nggak langsung membina saya buat jadi orang-orang yang
ramah pula.
Tak lama setelah
bapak tukang kebun bergegas keluar, seorang bapak-bapak yang lain masuk untuk
numpang pipis. Dia terkekeh melihat saya. “Sendirian aja? Nggak takut diculik
hantu?”
Bhaq. “Enggak, Pak.
Udah biasa sendiri.”
Si bapak memandangi,
tampaknya hendak melihat kesungguhan di balik ucapan saya. “Nggak pa-pa kalau
mau keluar sebentar. Ngumpul-ngumpul.”
“He-he. Makasih,
Pak.”
Yakali saya disuruh
kumpul bareng bapak-bapak.
Dan di hari kejepit
ini, saya cuma ditemani laptop dan dua orang bapak-bapak (lagi) yang sibuk
mengobrol, yang bagi saya nggak mungkin buat ikutan nimbrung. Saya cari aman
saja ketimbang dilempari tatapan, “Paan si lu. Kutikut.”
Tapi belajar dari
bapak tukang kebun, saya bisa melihat aura seorang ayah yang pekerja keras.
Nggak peduli, hidupnya pasti lebih berat daripada saya, tapi dia bisa tetap menyapa
ramah, bergerak cekatan dan tangkas, melempar senyum dan bikin orang-orang
merasa berharga.
Semoga Tuhan
memberkatimu, Bapak Tukang Kebun. :)