KESAKSIAN TIKUS-TIKUS
(Oleh: Petrus Widiyanto dan Amaliah Black)
Serendipity Creative |
Aku adalah kepala rombongan
tikus yang diam-diam kerap mengintip dari balik tabung gas berkarat. Siang ini,
aku dan pengawal sedang bersiap menginvasi rumah beserta rak-rak dapur orang yang
menganga, tapi seseorang seketika melempariku dengan kertas yang bergumpal-gumpal.
Ada manusia!
Aku segera menahan langkah.
Menyembunyikan perut buncitku yang semakin melar, nyaris mencicit ketika hendak
melesat ke bawah kaki meja, berharap manusia itu ketakutan sendiri begitu melihat
dua gigi tonggosku yang kekuningan.
Tapi ternyata dia hanya
berlalu, dengan cerobohnya menyandung undakan yang menghubungkan ruang tengah
dan dapur, lalu mengumpat.
Kuamati sejenak. Kuku-kuku
jarinya yang menggenggam gelas tampak kokoh, dan sepertinya cukup kuat untuk mematahkan
tulang belulangku dalam sekali remas. Ada kemarahan yang berkadar kematian
tinggi. Aroma ingin bunuh diri lamat-lamat merebak dari kedua ujung bibirnya
yang melengkung murung.
“Yang Mulia,” pengawalku
yang berada jauh di belakang buntutku pelan-pelan mencicit. “Kupikir ini
bungkus gorengan, ternyata bukan!”
Aku berpaling ke arah
pengawal, dan hampir-hampir menoyor moncongnya yang jelek. “Buat apa kamu
memungut itu?”
“Manusia sering buang-buang
makanan di dalam kertas, kupikir tadi ini ada isinya.”
Aku memutar bola mata, malas
mengomentari teorinya yang entah dia pelajari dari mana. Tapi, berhubung aku
adalah pemimpin digdaya yang bijaksana, maka kubiarkan dia membuka kertas yang
sudah remek itu, dan menghentaklah seruan keras dari mulutnya, “Ooooohhhh…”
“Heh, kutu!” sergahku,
sesekali mencuri pandang ke arah manusia yang masih duduk menyudut seraya
menghabiskan minumannya. Kebisingan adalah serangan psikologis bagi ordo tikus
yang cuma mampu mencari makan lewat lorong-lorong sepi, begitupun manusia yang
selalu memandang remeh keluarga kami. “Apa yang kamu dapat?” tanyaku saat
merangkak mendekat. “Ikan asin? Tela-tela?”
“Manusia itu,” pengawalku
mulai mengendusi kertas yang dipegangnya. “Dia harus banyak-banyak makan
pisang. Keguncangan dalam hatinya bisa-bisa bikin stroke ringan.”
Meski tampang pengawalku
tidak menunjukkan jenis kecerdasan apa pun, tapi dia adalah salah satu tikus
mujur yang bisa bertahan hidup karena teori-teori yang jarang diketahui bahkan
dari bangsa-bangsa manusia sekalipun.
Dengan gusar, aku lantas merebut
kertas itu. Kubaca dengan terbata-bata, dan segera tahu kalau manusia yang
tengah gelisah itu sedang gila dan butuh juru kisah yang sesuai. Jadi, aku
bersama pengawalku—Rodentus—berusaha meluangkan sedikit waktu untuk memahami
kenapa manusia itu perlu melahap sesisir pisang agar tidak kena stroke.
Jadi begini ceritanya…
-oOo-
Saya tertunduk. Dia masih berdiri tegap di depan
daun pintu dengan sorot mata terdalam yang pernah saya tangkap. Helai rambut
menjuntai di leher mungilnya, dengan peluh dan kontraksi yang masih kuat. Saya
bisa merasakan, amarah masih menyelimutinya.
Saya ingin mencoba sekali lagi. Ego meyakinkan saya
untuk terus merangsek dan mendobrak hatinya dengan tenaga sedikit lagi. Saya
masih punya keyakinan dia akan kembali, walau satu kali lagi.
Suara rendah itu tahu-tahu
terdengar seperti dentuman gempa bumi, “Pulanglah.”
Saya mendapati keheningan jatuh lalu pecah
berserakan. Memberi cukup alasan untuk segera melangkah. Namun saya bertahan,
tidak beranjak. “Saya belum mendapat
jawaban.”
Dia kembali bungkam, dan saya memberanikan diri mencari matanya.
Menyelam lebih dalam, memasuki setiap luka yang mungkin pernah saya ciptakan.
Dapat saya dengar tarikan nafasnya yang dalam. Saya rasa dia lelah, tapi
sumpah, saya tidak akan mengalah.
Spontan tawa kaku berembus
dari mulut saya. “Yang saya tahu,
itu bukan keluar dari hatimu. Lagi pula
saya di sini bukan untuk mendapatkan jawaban tidak.”
Gadis itu tersenyum pahit di depan mata saya. Tenaga saya
habis menguap seluruhnya. Cukup hanya dengan melihat wajahnya, dan kaki saya
tidak lagi mampu untuk tetap berada pada tempatnya menapak. Saya terduduk di
hadapannya, namun bukan menyerah.
Tolonglah.
“Tidak perlu berbicara tentang hal-hal yang terlalu
muluk,” dia
berkata, sesekali memberi jeda seakan dirinya hendak menguatkan diri sendiri. “Seharusnya kamu sadar,
bahkan untuk hal paling dasar saja, kita berbeda.”
Ya, kamu benar…
Kalimat itu benar. Tapi saya muak dengan penantian.
Saya benci setiap kali dia mengungkit perbedaan dan justru menciptakan garis
tegas yang semakin menjauhkan. Saya mencintainya tanpa pernah sekalipun melihat
hal lain yang dia bawa-bawa di belakang
namanya. Saya mencintainya, termasuk perbedaannya. Kenapa dia tidak?
“Karena saya lebih mencintai orang tua yang membuat saya ada di sini.”
Pernyataan itu seperti
menciptakan waktu yang berdenyut berulang,
namun jantung saya
seolah-olah berhenti
sedetak. Saya pernah mendengar ini sebelumnya. Tetapi
kali inilah yang paling menghancurkan seluruh
harapan. Harusnya saya sudah jauh berlari. Tetapi pula, saya terlalu sayang sehingga rasanya
seakan terperangkap di dalam tubuh kerempeng yang tidak mampu beranjak pergi.
Dengan kekuatan yang tinggal
secuil, saya berusaha menaikkan nada suara saya, dan berujar, “Saya juga mencintai orang tua saya.” Ha, pleidoi macam apa ini? “Tapi.., ya tapi saya cukup tahu, saya juga pantas memiliki kebahagiaan saya sendiri.”
Dia mengernyitkan dahi sambil menatap saya
dalam-dalam. Lancang! Saya tidak pernah dipandang dengan cara demikian. Semua perasaan yang tertahan ingin sekali
saya luapkan. Ingin rasanya saya raih
tubuhnya lalu mendekap dan menunjukkan rasa cinta untuknya yang terlalu besar
untuk saya simpan sendirian. Tapi saya sadar, jika saya lakukan, itu sama
seperti gunting yang benar-benar memutuskan hubungan saya dengannya.
“Kita hanya seorang anak,
yang berusaha membuat keluarga bahagia dengan cara yang kita lakukan. Tapi coba pikir, apa mereka juga tega melihat anaknya tidak
bahagia hanya untuk membuat mereka bahagia?” entah bagaimana, kata-kata itu meluncur begitu saja
dari bibir saya. Saya tidak terlalu ingat, dan berharap untuk tidak lagi mengingatnya
seumur hidup.
Namun, sekali lagi dia tersenyum samar. Sialan!
Cukup dengan melihat senyum seperti itu saja, saya mengaku kalah. Saya
menyerah. Tapi saya mencoba melawan. Saya menemukan saya terperangkap di kedua
matanya. Sedang menatap diri sendiri, mencari celah mendapatkan hatinya. Namun
hilang, tidak ada.
“Lalu, jika saya denganmu, apa kamu bisa menjamin
saya akan bahagia?” Kalimat itu benar-benar telah melahap seluruh pikiran saya,
dan saya terdiam untuk waktu yang lama.
“Diana,” kebisuan itu cepat-cepat saya retas dengan cara
paling berengsek, yakni menyebut namanya berulang kali. “Kamu tahu? Sejak pertama
kali saya mengenalmu, sejak saat itu pula seluruh hidup saya rasanya menjadi
milikmu. Segala hal yang bisa saya lakukan, saya lakukan untuk kamu. Saya belum
punya apa-apa, saya tidak berani menjanjikan hidupmu bahagia dengan saya, namun
dari apa yang saya lakukan sejak awal, kamu boleh lihat, saya benar-benar
melakukan segalanya karena kamu.”
Samar-samar, saya mendengar
gelak tawa yang tersembunyi.
“Jangan menganggap saya hidup di sini cuma karena
kamu,” Diana
membalas semua perkataan saya dengan cara yang tak kalah berengseknya. “Jika saya bisa, akan
saya kembalikan semua yang kamu beri untuk saya selama ini. Supaya saya dan
kamu bisa hidup lepas, tanpa beban masa lalu.”
Keterlaluan. Saya berusaha melawan dan menampik
prasangkanya. Saya tidak sepicik itu tentu saja. Segera saya kosongkan paru-paru dengan desah panjang.
“Apa yang saya beri,
tetap saya beri.” Seolah saya tidak punya kata untuk membalas kalimatnya lagi.
“Dengar,” gadis itu masih berdiri kukuh di atas pijakannya
sendiri. “Saya cuma ingin membahagiakan orang tua saya. Kamu paham?”
Sekali lagi saya mencoba mencerna setiap kata yang
dia lontarkan. Namun pikiran saya pendek. Bukankah setiap anak pasti ingin
membahagiakan orang tuanya? Lalu kenapa
saya yang dia korbankan untuk orang tuanya?
Saya juga masih punya orang tua.
Gadis
sialan ini benar-benar sulit
diterka.
Angin datang membisikkan jawaban. Lalu saya
tersadar. Saya mulai paham apa arti perbedaan dan keinginan membahagiakan
keluarga yang dari tadi dia bicarakan.
“Kalau begitu, kita tidak akan pernah bisa bersama?”
saya
bertanya sekali lagi sekaligus memberi
ultimatum. “Tidak ada harapan?”
Dia mengangkat bahu lalu menggeleng. “Tidak ada yang
tahu.”
“Kita tidak bisa memilih darah apa yang mengalir
dalam diri kita. Kita tidak pernah diberi pilihan di keluarga mana kita
dilahirkan. Dan jika ini menjadi alasan untuk mengakhiri segalanya, untuk
pertama kalinya kamu membuat saya merasa menyesal pernah dilahirkan di dunia
dengan darah yang saya punya.”
Setelah memuntahkan segenap kosakata yang selama ini saya timbun begitu
saja, akhirnya saya berusaha
mengangkat badan yang kadung terpaku oleh sakit dan kecewa. Menahan air mata
yang memaksa ingin dikeluarkan. Saya melihat gadis
yang paling saya benci sekarang, tapi dia tetap saja perempuan yang paling saya cintai selamanya.
“Rasa cinta yang saya miliki…,” saya mengatakannya
dengan sedikit gagap, “jauh lebih besar dari rasa kecewa yang kamu beri
hari ini.”
Sekali lagi saya mencoba mengamati setiap garis
wajahnya. Menyimpannya dalam-dalam untuk dikenang, hingga suatu saat tidak
perlu saya mendatangi luka hanya untuk melepas kerinduan.
“Maafkan saya,”
dia berbisik tanpa balas memandang. Tapi sungguh, kalimat itu sama sekali tak
punya arti.
-oOo-
“HAHAHAHAHA…”
Pengawalku yang turut
mendengarkan kontan terbahak-bahak. Perutnya yang berukuran medium tampak berguncang
seperti balon gas diterjang badai. Rasanya cukup menggelikan, tetapi apa yang
barusan kubaca dan kusaksikan… cukup memberikan tancapan dalam di salah satu bagian
tubuhku.
Entah di mana.
Entah di mana.
Manusia selalu bergegas
mengejar apa yang mereka impikan, apa yang mereka inginkan, nekat menyiksa diri
sendiri tanpa pernah berpikir apakah kebahagiaan yang hakiki adalah hasrat
untuk memiliki itu?
Mendadak aku merasa
beruntung. Meski hidup di kubangan kotor, dikelilingi pasukan kumal yang kadang
berbau lumpur, tapi yang kami tahu, sebagaimana yang sudah berabad-abad ini
dilewati sejak zaman nenek moyang, tikus hanya mencari makan, hidup, bercinta
tanpa pandang bulu, beranak banyak, lalu mati terlindas mobil truk atau minimal
diracun manusia. Kedengarannya sih menyedihkan, tapi kupikir, kehidupan kami
tak sekacau manusia-manusia sok pintar yang gemar membuang-buang makanan. Jadi
tak peduli bagaimana akhirnya—karena kami semua bakal mati—tikus-tikus tetap
selalu bahagia dan senang menggoda kucing-kucing piaraan yang pemalas.
Setidaknya kami tidak saling
menyiksa satu sama lain. Tikus tidak pernah membunuh sesama tikus. Tidak pernah
mati di tangan bangsa sendiri.
Dan manusia yang kulihat
sekarang, aha aha aha, rasanya aku jadi begitu jahat karena ikut
menertawakannya. Aku bisa memaklumi, apa yang ada di hadapannya memang berada
di luar kendali. Tidak ada yang bisa diperbuat selain menerima dan belajar
melepaskan. Sungguhan, rasa lapar yang sedari tadi mendera tiba-tiba lenyap
tanpa sisa.
“Kita balik ke markas,”
kataku seraya menyusuri celah-celah kecil di antara rongsokan yang teronggok di
sudut dapur.
“Makanannya bagaimana, Yang
Mulia?”
Aku terlalu kasihan melihat
manusia itu, dan agaknya tak cukup kejam untuk mencuri makanan dalam piring-piringnya
yang tergeletak mengering. “Yah—kita cari di rumah-rumah yang lain.”
-TAMAT-