Konsep
"pembangunan" memiliki banyak makna dalam berbagai tingkatan. Ia bisa
saja merujuk kepada masalah makro seperti pola pertumbuhan negara, atau
permasalahan yang lebih sempit seperti pengembangan masyarakat setempat. Semua
tingkat—dari makro hingga mikro, semuanya saling terjalin. Dan di semua
tingkatan itu, terdapat banyak dimensi yang terbagi-bagi, yakni; ekonomi,
budaya, agama dan gender, dan keseluruhannya tentu dipengaruhi sekaligus
mempengaruhi sebuah pembangunan.
Pembangunan
harus dipahami sebagai proses, bukan produk. Masyarakat selalu berubah karena
sifatnya memang dinamis. Beberapa di antaranya bergerak menuju perkembangan,
sementara yang lain bergerak ke arah sebaliknya dan berakhir gagal. Itulah
manfaat dari sebuah teori pembangunan; menjelaskan kedua proses tersebut di
mana praktik-praktik pembangunan bermaksud untuk menyediakan sarana dan
prasarana yang dapat diterapkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat tertentu.
Sebuah
pembangunan jelas membutuhkan hubungan yang bersifat multilateral—melibatkan
banyak negara, dan kasus tersebut kerap ditemukan di banyak negara berkembang
yang sedang gencar-gencarnya melaksanakan pembangunan. Indonesia, misalnya.
Pada
tahun 1970, negara-negara kaya di dunia setuju untuk memberikan 0,7% dari Pendapatan
Nasional Bruto masing-masing sebagai bantuan pembangunan internasional per
tahun. Sejak saat itu, meskipun sudah miliaran uang diberikan setiap tahunnya,
negara-negara kaya, pada kenyataannya, tak mampu memenuhi target yang telah
dijanjikan dan tidak konsisten. Contohnya saja, Amerika Serikat yang kini
dianggap sebagai penyumbang terbesar justru berada pada peringkat terendah yang
sanggup memenuhi target 0,7%.
Bantuan
yang digadang-gadang mampu menjadi jalan keluar di tengah krisis justru
berbalik menjelma beban yang kian hari semakin menumpuk. Bantuan yang diberikan
bukan tanpa imbalan, dan Indonesia seperti sudah terjebak dalam lingkaran
setan. Meski bantuan-bantuan itu mengalir mengisi kas negara, kemiskinan tetap
saja membelit bagai benalu yang sulit ditebas.
Bantuan Luar Negeri yang
Menghambat Pembangunan
Sejak
Revolusi Perancis dan sejak umat manusia disadarkan akan arti penting kebebasan
melalui proyek renaissance dan aufklarung
(Masa Pencerahan), maka tak satu pun manusia di semesta alam ini yang sudi
dijajah, ditindas, dibohongi, dan tidak dimanusiakan oleh manusia lain. Semua
paham bahwa dirinya dilahirkan dalam keadaan bebas merdeka.
Akan
tetapi, jika berikutnya kita masih menyaksikan beberapa penjajahan, baik
implisit maupun eksplisit, fisik ataupun nonfisik, tentu saja wacana di atas
harus diverifikasi kembali dengan memahami peluang manusia untuk serakah dan
menindas orang lain. Eric Fromm berkata, “Unsur dasar manusia adalah
keserakahan”. Oleh sebabnya, manusia kerap kali bertindak di luar kewajaran,
bahwa masih banyak kelompok yang hendak menguasai orang lain dengan menekan,
memaksa dan mengintervensi urusan orang lain yang bukan kewenangannya.
Sekali
lagi, manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka. Namun, kenyataannya tidak
seperti manusia yang dilahirkan di Indonesia. Bayi-bayi yang keluar dari rahim
sang ibu di negeri ini sesungguhnya bukanlah bayi yang merdeka alias menanggung
beban potensi pemaksaan lembaga-lembaga internasional semacam IMF
(International Monetary Fund). Dengan demikian, kemerdekaan yang
digaung-gaungkan semenjak tahun 1945 silam hanya semacam produk basa-basi.
Hal
ini tidak jauh dari polemik yang berhubungan dengan pasca adanya bipolar system (sistem dua kutub), di
mana aktor mayornya ialah Amerika Serikat dan Rusia sebagaimana sampai sekarang
masih terjadi dan memengaruhi proses kehidupan di negara-negara lain, khususnya
pada negara-negara berkembang. Amerika Serikat dan Soviet telah dianggap superior, dan demi memenuhi kepentingan
bangsa penguasa ini, mereka berusaha menggapai kepentingan dengan ragam intrik
dan strategi politis. Salah satunya adalah dengan membangun lembaga-lembaga
multinasional bahkan internasional yang berkedok ‘bantuan’, seperti World Bank
dan IMF. Lembaga-lembaga itu dikenal telah membawahi banyak negara berkembang
dan, pada akhirnya, melakukan penetrasi terhadap doktrin-doktrin mereka terkait
pembangunan di negara-negara dunia ketiga.
Kritikan
ini jelas memiliki alasan, sebab telah diketahui bahwa World Bank merupakan
dalang di balik proyek bernilai miliaran rupiah guna membiayai industri
ekstraktif seperti batu bara, minyak, dan gas di sejumlah negara berkembang,
termasuk Indonesia. Proyek-proyek itu dianggap mampu menghancurkan lingkungan
dan merupakan faktor utama penyebab krisis iklim secara perlahan. Proyek di
industri ekstraktif tersebut tidak lain adalah pembangunan dam besar dan
pengembangan agrofuel.
Di
samping itu, utang tersebut dibayar lewat anggaran publik sementara perusahaan
transnasional terus-terusan mengeruk keuntungan dari proyek tersebut. World
Bank merupakan pemberi utang terbesar untuk industri ekstraktif di dunia, yang
nilainya bisa mencapai US$28 miliar dari 133 paket program sejak 1992. Skema
utang baru Bank Dunia untuk perubahan iklim (climate investment fund) yang mencapai 5 miliar dolar AS dituding
sebagai tidak lebih dari upaya untuk memanfaatkan krisis iklim demi keuntungan
Bank Dunia.
Selama
tiga dekade pula World Bank menjadikan utang-utang itu sebagai alat untuk
mengintervensi kebijakan negara dunia ketiga seperti Indonesia yang mendorong
liberalisasi keuangan, ekstraksi kekayaan alam dan konsentarasi kekayaan pada
segelintir orang serta pengisapan ekonomi negara-negara berkembang oleh negara
dunia pertama dan perusahaan transnasional. Mendorong pola pembangunan neoliberal
yang menyebabkan terjadinya krisis iklim, finansial, bahkan pangan.
Bantuan-bantuan
itu, tentu saja, sifatnya mengikat. Dan dilihat melalui sisi efektifitasnya,
utang luar negeri tidak hanya dipandang sebagai penghambat tumbuhnya
kemandirian ekonomi negara-negara Dunia Ketiga. Ia juga diyakini menjadi pemicu
terjadinya kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan meluasnya
kesenjangan ekonomi. Bahkan, secara eksternal, utang luar negeri diyakini
menjadi pemicu meningkatnya ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada
pasar luar, modal asing, dan pada pembuatan utang luar negeri secara
berkesinambungan.
Pada
sisi implikasi sosial dan politiknya, utang luar negeri tidak hanya berperan
sebagai fasilitas yang sengaja dikembangkan oleh negara-negara pemberi pinjaman
untuk mengintervensi negara-negara penerima. Secara tak langsung, ia juga
diyakini turut bertanggung jawab terhadap munculnya rezim diktator, kerusakan
lingkungan, meningkatnya tekanan migrasi dan perdagangan obat-obat terlarang,
serta terhadap terjadinya konflik dan peperangan.
Pun,
Bank Dunia dan IMF diyakini telah bekerja sebagai perpanjangan-tangan
negara-negara Dunia Pertama yang menjadi pemegang saham utama mereka. Dan
secara ideologi, utang luar negeri turut dipakai oleh negara-negara pemberi
pinjaman sebagai alat untuk
menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru untuk kemudian menguasai
dunia.
Melihat ini,
Indonesia bukan hanya melarat, tetapi juga lemah dalam perkara pembangunan di
bidang sosial terutama mentalitas.
Pembangunan
Mental sebagai Fondasi Utama
Rakyat
Indonesia umumnya secara empatik benar-benar menyadari, saat ini realitas hidup
bangsanya ada pada sebuah ketergantungan dengan bangsa maju lain. Apa yang
dirasakan wong cilik hanya sebatas merasakan bahwa orientasi pembangunan
negaranya hanya mengejar dan berebut dollar. Ekspor dipicu setinggi-tingginya
untuk menggapai dollar, tetapi dengan cara halus agar petani, buruh, dan
nelayan menyerahkan subsudi miliknya. Buruh digaji rendah, padi petani dihargai
murah dan pupuknya dimusnahkan dari pasaran, nelayan dihantui berbagai
peraturan kelautan yang ketat dan seterusnya, merupakan fenomena-fenomena yang
setiap hari dialami oleh rakyat jelata.
Dengan
‘taktik subsidi’ seperti inilah barang industri bisa pula dihargai murah,
tetapi rakyat masih berkelindan dalam kemiskinan. Mengapa? Tentu saja karena
industri yang berdiri di segenap penjuru republik ini disubsidi kaum miskin.
Bukan cuma hidup dalam kemiskinan, tetapi yang lebih parah adalah kerusakan lingkungan,
ekosistem, penindasan kaum minoritas, yang pada akhirnya berujung menjadi
pergesekan antar-masyarakat.
Memikirkan
kekuatan mental dan pendidikan sebetulnya bisa menjadi jawaban bagi Indonesia
agar dapat terlepas dari utang-utang luar negeri. Setelah sadar bahwa kita kini
hidup di bawah belas kasihan bangsa lain, maka jadikanlah realitas itu sebagai
cermin untuk mengadakan refleksi menyeluruh dengan melihat kembali akar
kebudayaan yang kita miliki. Mengapa hal ini terus terjadi? Apakah ada kaitannya
bahwa kita sebenarnya belum siap menjadi bangsa yang berdikari? Ketidaksiapan
yang kerap membuat elite politik dan ekonomi telat untuk melihat realitas yang
ada sekarang?
Kendati
demikian, kita patut melihat kegugupan-kegugupan itu sebagai bagian dari proses
pembelajaran bangsa ini. Tanpa perlu mengutuk siapa pun, kita semestinya
belajar dari sebuah kesalahan yang kadung dilakukan. Proses berjalan bangsa ini
belumlah final. Kita harus bersedia meretas harga diri agar tidak sekadar
identik dengan sebuah gelar, kekayaan, dan jabatan. Harga diri lebih ditentukan
oleh kualitas di bidang moral, kebijaksanaan, dan keadilan. Jadi, apabila hal
ini sudah menjadi karakter bangsa Indonesia, barulah kita bisa mengatakan bahwa
Indonesia tidak butuh World Bank maupun IMF.
Sebab,
bagaimana kita mau mengutuk IMF, atau go
to hell World Bank, sementara di lain sisi kita adalah bangsa yang karakter
elite politiknya, pejabatnya, cendekiawannya masih berada dalam taraf ‘kuli’?
Bagaimana
kita mau mengusir IMF dan menghapus World Bank dari kebijakan Indonesia
sementara kita sendiri masih senang mengorupsi uang yang diberikan kepada kita?
[ ]